Showing posts with label Pendidikan & Sekolah. Show all posts
Showing posts with label Pendidikan & Sekolah. Show all posts

Makalah - Standardisasi Pendidikan Nasional

Tulisan dibawah ini adalah makalah Standardisasi Pendidikan Nasional
untuk mendapatkan filenya silakan di download :
word : Standardisasi Pendidikan Nasional.docx

BAB I
PENDAHULUAN
I. Latar Belakang
      Standar nasional pendidikan merupakan kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. Penetapan standar sebagaimana dimaksudkan dalam UU Nomor 20 Tahun 2003, setidaknya menggambarkan optimisme Pemerintah dan DPR untuk mendongkrak mutu pendidikan nasional sehingga tidak tertinggal jauh dibanding negara-negara lainnya di Asia khususnya dan dunia pada umumnya.
      Banyak Pertanyaan tentang Standardisasi pendidikan nasional di Indonesia, bahkan ada pro dan kontra terhadap standardisasi pendidikan. Setiap daerah memiliki spesifikasi dan standar sendiri berdasarkan ciri khas budaya serta letak geografisnya. Bagi yang mendukung, standardisasi tetap dibutuhkan karena standardisasi adalah suatu kebutuhan karena tuntun masyarakat yang ingin berubah dengan cepat. Namun bagi yang lainnya, bahwa peningkatan kualitas pendidikan bukan hanya dapat dicapai melalui standardisasi pendidikan dalam arti akademik tetapi merupakan bagian upaya yang lebih besar ialah pemberantasan kemiskinan.
      Dari beberapa pembahasan dan permasalahan diatas maka dalam makalah ini akan dibahas tentang Standar Pendidikan Nasional, sehingga dapat memberikan pengetahuan kepada pembaca serta dapat mengetahui bagaimana Komersialisasi dalam pendidikan di Indonesia.
II. Rumusan Masalah
      Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah Bagaimana Standardisasi Pendidikan Nasional?
     
III. Batasan Masalah
      Adapun batasan-batasan dalam pembahasan Standardisasi Pendidikan Nasional yaitu :
a. Pengantar tentang Standardisasi Pendidikan Nasional
b. Pro dan Kontra Standardisasi Pendidikan Nasional
c. Standardisasi Pendidikan Nasional
d. Komersialisasi Pendidikan

IV. Tujuan
      Adapun tujuan dari pembuatan Makalah ini adalah sebagai pembelajaran dan pemenuhan tugas mata kuliah di STAI AL-AZHAR Pekanbaru.

V. Manfaat
      Manfaat adanya makalah Standardisasi Pendidikan Nasional adalah
a. Menambah wawasan pembaca tentang Standardisasi Pendidikan Nasional
b. Memahami dan mengetahui Pro dan Kontra Standardisasi Pendidikan Nasional
c. Mengetahui bagaimana standar, aturan dan undang-undang Standardisasi Pendidikan Nasional, dan
d. Mengetahui bagaimana komersialisasi dalam pendidikan
   
   
BAB II
PENDAHULUAN

A. Pengantar

      Perdebatan seputar perlu tidaknya pendidikan di Indonesia distandardisasi seperti yang berlaku di negara-negara maju, mendapat pro-kontra baik dari masyarakat, praktisi, akademisi dan pemerhati pendidikan. Standardisasi dimaknai sebagai penentuan standar/kriteria minimal terhadap layak-tidaknya unsur-unsur penting dalam penyelenggaraan pendidikan. Penetapan standar sebagaimana dimaksudkan dalam UU Nomor 20 Tahun 2003, setidaknya menggambarkan optimisme Pemerintah dan DPR untuk mendongkrak mutu pendidikan nasional sehingga tidak tertinggal jauh dibanding negara-negara lainnya di Asia khususnya dan dunia pada umumnya.

B. Pro dan Kontra Standardisasi Pendidikan

      Pertanyaan yang kemudian muncul ialah, apakah pendidikan nasional sudah saatnya distandardisasi? Bukankah setiap daerah memiliki spesifikasi tersendiri berdasarkan ciri khas budaya, dan geografisnya, sehingga tidak bisa diperlakukan sama dengan daerah lainnya di Indonesia. Apakah pemberlakuan standardisasi dimaksud tidak mempertimbangkan aspek sumber daya manusia, sumber daya alam dan berbagai sarana dan prasarana sekolah yang belum memadai secara merata di Indonesia? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini memang tidak gampang, karena kondisi pendidikan secara nasional masih sangat memprihatinkan dalam sejumlah aspek. Katakanlah pada aspek tenaga pendidik, tidak semua daerah memiliki kemampuan anggaran untuk merekrut tenaga pendidik sesuai kebutuhan masing-masing satuan pendidikan. Demikian juga mutu dan kompetensi lulusan, pemerintah hanya menilai pada hasil ujian nasional, sementara proses yang dijalani seorang siswa selama tiga tahun sama sekali tidak dijadikan indikator yang menentukan keberhasilannya.
      Tidak berarti standardisasi tidak diperlukan, tetapi memerlukan waktu dan pengkajian mendalam mengenai dampak yang timbul, diperlukan juga pemerataan pembangunan di semua daerah sebelum standardisasi diberlakukan. Banyak kalangan menilai bahwa Indonesia cenderung mengadopsi sistem pendidikan dari negara-negara Barat yang telah mapan dan berkembang dengan cepat. Di sinilah terjadi pro dan kontra terhadap standardisasi dalam dunia pendidikan. Tilaar (2006: 130) mengidentifikasi pendapat kelompok pro dan kontra terhadap standardisasi pendidikan, sebagai berikut:
      Pro Standardisasi:

  • Standardisasi berfungsi sebagai penuntun (guideline) bagi guru di dalam mengadakan perubahan global.
  • Standardisasi berisi suatu kewajiban moral untuk memberikan kesempatan yang sama kepada semua peserta didik.
  • Standardisasi yang bersifat nasional akan menghindari keinginan keinginan pribadi dari guru.
  • Adanya standar nasional mencegah kontrol lokal yang berlebihan.
  • Standardisasi pendidikan dirasakan suatu kebutuhan karena tuntutan masyarakat yang berubah dengan cepat.
  • Standardisasi pendidikan akan memberikan akuntabilitas pendidikan.

   
      Kontra Standardisasi:

  • Adanya perbedaan di dalam masyarakat demokrasi.
  • Standardisasi pendidikan banyak dipengaruhi oleh keputusan-keputusan bisnis dan politik dan juga kepada para expert pendidikan tetapi diperlukan pula pendapat-pendapat yang berbeda yang datang dari orang dewasa seperti orang tua dalam masyarakat.
  • Standardisasi telah menentukan suatu tujuan yang terletak di luar proses pendidikan itu sendiri. Sekolah mempunyai otoritas tertinggi, dalam hal ini guru, dalam mengadakan evaluasi terhadap kemajuan belajar peserta didik.
  • Belajar dan mengajar secara berhasil (effective learning) terletak kepada relasi antara siswa dan guru bukan pada otoritas dari luar yang dipaksakan dari atas (impose from above).
  • Tidak semua evaluasi belajar yang mengikuti standar yang dibutuhkan dari atas sesuai dengan situasi belajar mengajar program pendidikan kesenian.
  • Standar yang diterapkan di sini adalah suatu standar penipuan yang menjual mutu pendidikan dengan biaya yang tinggi mengorbankan nilai-nilai kemanusiaan.
  • Peningkatan kualitas pendidikan bukan hanya dapat dicapai melalui standardisasi pendidikan dalam arti akademik tetapi merupakan bagian upaya yang lebih besar ialah pemberantasan kemiskinan.
  • Standardisasi bukannya bermaksud untuk menyingkirkan peserta didik yang tidak beruntung tetapi justru untuk membuka mata masyarakat mengenai ketimpangan yang masih ada di dalam kehidupan masyarakat.
  • Perlunya standardisasi pendidikan sebagai pemetaan masalah yang dihadapi di dalam pendidikan secara menyeluruh namun evaluasi proses belajar mengajar tidak menyepelekan peranan guru sebagai orang pertama yang mengetahui kemajuan belajar peserta didik.
  • Evaluasi pendidikan untuk mengetahui tercapai tidaknya standar yang telah disepakati tidak semata-mata diselenggarakan melalui tes.

C. Standardisasi Pendidikan Nasional

      Sebagai tindak lanjut dari ditetapkannya UU Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, maka pemerintah melalui PP 19 Tahun 2005 menetapkan standar nasional pendidikan yang dapat dijadikan sebagai pedoman yang mengarahkan setiap praktisi, birokrat dan penyelenggara pendidikan untuk menggunakan standardisasi dalam proses, penyelenggaraan dan hasil pendidikan dari semua jenjang dan satuan pendidikan. Dalam Pasal 1, ayat 1, dan ayat 4 s/d 11 disebutkan:

  1. Standar nasional pendidikan adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia;
  2. Standar kompetensi lulusan adalah kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan;
  3. Standar isi adalah ruang lingkup materi dan tingkat kompetensi yang dituangkan dalam kriteria tentang kompetensi tamatan, kompetensi bahan kajian, kompetensi mata pelajaran, dan silabus pembelajaran yang harus dipenuhi oleh peserta didik pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu;
  4. Standar proses adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan pelaksanaan pembelajaran pada satu satuan pendidikan untuk mencapai standar kompetensi lulusan;
  5. Standar pendidik dan tenaga kependidikan adalah kriteria pendidikan prajabatan dan kelayakan fisik maupun mental, serta pendidikan dalam jabatan;
  6. Standar sarana dan prasarana adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan kriteria minimal tentang ruang belajar, tempat berolahraga, tempat beribadah, perpustakaan, laboratorium, bengkel kerja, tempat bermain, tempat berkreasi dan berekreasi, serta sumber belajar lain, yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran, termasuk penggunaan teknologi informasi dan komunikasi,
  7. Standar pengelolaan adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan kegiatan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan, kabupaten/kota, provinsi, atau nasional agar tercapai efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pendidikan;
  8. Standar pembiayaan adalah standar yang mengatur komponen dan besarnya biaya operasi satuan pendidikan yang berlaku selama satu tahun.
  9. Standar penilaian pendidikan adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan mekanisme, prosedur, dan instrumen penilaian hasil belajar peserta didik.

   
      Sebagai manifestasi dari pemberlakuan UU No. 20 Tahun 2003 dan PP No. 19 Tahun 2005, maka operasionalisasi ketentuan mengenai komponen-komponen pendidikan yang memerlukan standardisasi ditetapkan dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional. Masing-masing komponen dijelaskan sebagai berikut:
   
1. Standar Isi
      Standar isi adalah ruang lingkup materi dan tingkat kompetensi yang dituangkan dalam kriteria tentang kompetensi tamatan, kompetensi bahan kajian, kompetensi mata pelajaran, dan silabus pembelajaran yang harus dipenuhi oleh peserta didik pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu. Standar ini disusun dan dikembangkan oleh BSNP dan ditetapkan oleh Menteri Pendidikan Nasional (sekarang Kementrian Pendidikan Nasional). Hal ini selanjutnya diatur dalam Permendiknas No. 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi.
2. Standar Proses
      Standar Proses adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan pelaksanaan pembelajaran pada satu satuan pendidikan untuk mencapai standar kompetensi lulusan. Standar ini disusun dan dikembangkan oleh BSNP dan ditetapkan oleh Keputusan Menteri Pendidikan Nasional. Standar Proses mencakup: perencanaan proses pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran, penilaian hasil pembelajaran, dan pengawasan proses pembelajaran. Hal ini selanjutnya diatur dalam Permendiknas No. 41 Tahun 2007.
3. Standar Kompetensi Lulusan
      Standar kompetensi lulusan adalah kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Standar ini disusun dan dikembangkan oleh BSNP dan ditetapkan oleh Keputusan Menteri Pendidikan Nasional. Hal ini selanjutnya diatur dalam Permendiknas No.23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.
4. Standar Tenaga Kependidikan
      Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan adalah kriteria pendidikan prajabatan dan kelayakan fisik maupun mental, serta pendidikan dalam jabatan. Standar ini disusun dan dikembangkan oleh BSNP dan ditetapkan oleh Keputusan Menteri Pendidikan Nasional. Pendidik harus memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Kualifikasi akademik yang dimaksudkan di atas adalah tingkat pendidikan minimal yang harus dipenuhi oleh seorang pendidik yang dibuktikan dengan ijazah dan/atau sertifikat keahlian yang relevan sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Kompetensi sebagai agen pembelajaran pada jenjang pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan anak usia dini meliputi: kompetensi pedagang; kompetensi kepribadian; kompetensi profesional; dan kompetensi sosial.
      Sementara yang dimaksud dengan tenaga pendidik adalah guru pada pada TK/RA, SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SDLB/SMPLB/SMALB, SMK/MAK, satuan pendidikan Paket A, Paket B dan Paket C, dan pendidik pada lembaga kursus dan pelatihan. Kemudian Tenaga kependidikan meliputi kepala sekolah/madrasah, pengawas satuan pendidikan, tenaga administrasi, tenaga perpustakaan, tenaga laboratorium, teknisi, pengelola kelompok belajar, pamong belajar, dan tenaga kebersihan.
      Hal ini selanjutnya diatur dalam: Permendiknas No.12 Tahun 2007 Tentang Standar Pengawas Sekolah/Madrasah; Permendiknas No. 13 Tahun 2007 Tentang Standar Kepala Sekolah/Madrasah; Permendiknas No. 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi dan Kompetensi Guru; Permendiknas No. 18 Tahun 2007 tentang "Sertifikasi Guru Dalam Jabatan; Permendiknas No. 24 Tahun 2008 Tentang Standar Tenaga Administrasi Sekolah/Madrasah; Permendiknas No. 25 Tahun 2008 Tentang Standar Tenaga Perpustakaan Sekolah/Madrasah; dan Permendiknas No. 27 Tahun 2008 Tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Konselor.
5. Standar Sarana dan Prasarana
      Standar sarana dan prasarana adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan kriteria minimal tentang ruang belajar, tempat berolah raga, tempat beribadah, perpustakaan, laboratorium, bengkel kerja, tempat bermain, tempat berkreasi dan berekreasi, serta sumber belajar lain, yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran, termasuk penggunaan teknologi informasi dan komunikasi. Standar ini disusun dan dikembangkan oleh BSNP dan ditetapkan oleh Keputusan Menteri Pendidikan Nasional. Hal ini selanjutnya diatur dalam Permendiknas Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Standar Sarana dan Prasarana Untuk Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah (SD/MI), Sekolah Menengah Pertama / Madrasah Tsanawiyah (SMP/MTs), dan Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah (SMA/MA).
6. Standar Pengelolaan
      Standar pengelolaan pendidikan untuk satuan pendidikan dasar dan menengah adalah standar pengelolaan pendidikan untuk sekolah/ madrasah yang berkaitan dengan perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan kegiatan pendidikan agar tercapai efisiensi dan efektivitas enyelenggaraan pendidikan. Hal irn selanjutnya diatur dalam Permendiknas Nomor 19 Tahun 2007 Tentang Standar Pengelolaan Pendidikan Oleh Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.
7. Standar Pembiayaan
      Standar pembiayaan adalah standar yang mengatur komponen dan besarnya biaya operasi satuan pendidikan yang berlaku selama satu tahun. Dalam PP No. 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan pasal 3 disebutkan:
1) Biaya pendidikan meliputi:
    a. biaya satuan pendidikan;
    b. biaya penyelenggaraan dan/atau pengelolaan pendidikan; dan
    c. biaya pribadi peserta didik.
2) Biaya satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf (a) terdiri atas:
    a. biaya investasi, yang terdiri atas:
        1. biaya investasi lahan pendidikan; dan
        2. biaya investasi selain lahan pendidikan.
    b. biaya operasi, yang terdiri atas:
        1. biaya personalia; dan
        2. biaya nonpersonalia.
     c. bantuan biaya pendidikan; dan
     d. beasiswa.
3) Biaya penyelenggaraan dan/atau pengelolaan pendidikan sebagai mana dimaksud pada ayat (1) huruf (b) meliputi:
     a. biaya investasi, yang terdiri atas:
        1. biaya investasi lahan pendidikan; dan
        2. biaya investasi selain lahan pendidikan.
     b. biaya operasi, yang terdiri atas:
        1. biaya personalia; dan
        2. biaya nonpersonalia.
4) Biaya personalia sebagaimana dimaksud pad a ayat (2) huruf (b) angka 1 dan ayat (3) huruf (b) angka 1 meliputi:
      a. Biaya personalia satuan pendidikan, yang terdiri atas:
          1. gaji pokok bagi pegawai pada satuan pendidikan;
          2. tunjangan yang melekat pada gaji bagi pegawai pada satuan pendidikan;
          3. tunjangan struktural bagi pejabat struktural pada satuan pendidikan;
          4. tunjangan fungsional bagi pejabat fungsional di luar guru dan dosen;
          5. tunjangan fungsional atau subsidi tunjangan fungsional bagi guru dan dosen;
          6. tunjangan profesi bagi guru dan dosen;
          7. tunjangan khusus bagi guru dan dosen;
          8. maslahat tambahan bagi guru dan dosen; dan
          9. tunjangan kehormatan bagi dosen yang memiliki jabatan profesor atau guru besar.
       b . biaya personalia penyelenggaraan dan/atau pengelolaan pendidikan, yang terdiri atas:
          1. gaji pokok;
          2. tunjangan yang melekat pada gaji;
          3. tunjangan struktural bagi pejabat struktural; dan
          4. tunjangan fungsional bagi pejabat fungsional.
   
      Berkaitan dengan Standar Pembiayaan Pendidikan ini, selanjutnya disusun dan dikembangkan oleh BSNP dan ditetapkan oleh Keputusan Menteri Pendidikan Nasional. Namun demikian, mengenai komponen biaya dalam satuan pendidikan secara nasional belum ditetapkan dalam Keputusan Menteri.
   
8. Standar Penilaian
      Standar penilaian pendidikan adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan mekanisme, prosedur, dan instrumen penilaian hasil belajar peserta didik. Standar ini disusun dan dikembangkan oleh BSNP dan ditetapkan oleh Keputusan Menteri Pendidikan Nasional. Hal ini selanjutnya diatur dalam Permendiknas No. 20 Tahun 2007 Tentang Standar Penilaian.
D. Komersialisasi Pendidikan
      Perkembangan zaman memang telah mengubah segala-galanya. Seluruh sendi-sendi hidup manusia terasa digerogoti oleh suatu trend perkembangan yang berambisi pada keuntungan bisnis dan sistem permodalan sebagai syarat mutlak untuk menghadapi persaingan global. Dalam konsep komersial, unsur kemanusiaan tidak menjadi penting karena cenderung pada bagaimana memperoleh keuntungan sebesar­besarnya sesuai kapasitas produksi yang dimiliki. Komersialisasi dapat dipahami sebagai suatu aktivitas perdagangan yang menawarkan produk dan jasa layanan dengan harga tertentu, dengan harapan dapat menghasilkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Perkembangan serupa kini mulai terasa di dunia pendidikan, termasuk di Indonesia. Pendidikan bukan lagi menjadi instrumen sosial untuk memberdayakan masyarakat dari berbagai latar belakang dan kedudukan sosialnya, tetapi lebih diarahkan pada bagaimana menjadikan pendidikan sebagai barang dagangan yang menghasilkan keuntungan sebesar-besarnya.
      Sekali lagi, pendidikan di Indonesia mulai mengadopsi sistem penyelenggaraan pendidikan dari negara-negara kapitalis, yang cenderung mengubah pendidikan sebagai sebuah industri pengetahuan yang dapat menghasilkan modal yang besar dalam jangka waktu yang relatif singkat. Jika pendidikan dipahami sebagai investasi masa depan, maka dalam konsep komersialisasi, pendidikan memerlukan standar tertentu sehingga menarik perhatian para pemilik modal untuk berinvestasi di lembaga pendidikan. Dampaknya adalah bahwa hanya peserta didik yang memiliki modal besar alias kelompok elit saja yang dapat menikmati.
      Sementara kelompok masyarakat yang tidak bermodal alias rakyat jelata hanya pantas duduk di sekolah-sekolah yang dianggap tidak berkualitas. Bahkan mungkin pada waktunya, masyarakat hanya menjadi penonton yang menyaksikan gemerlapnya sekolah dan kampus-kampus yang memiliki sarana dan prasarana mewah dengan kualitas berstandar internasional.
      Seharusnya pendidikan nasional Indonesia diselenggarakan sesuai jiwa dan semangat Pancasila dan UUO 1945. Mengapa? Karena pada dasarnya identitas suatu bangsa akan tergambar dari landasan sosio-budaya yang memungkinkan bangsa itu memiliki kepribadian dan jati diri yang sesungguhnya.
      Dalam pasal 2, 3 & 4 UU No. 9 Tahun 2009 Tentang Badan Hukum Pendidikan, 15 ditegaskan bahwa:
(2) : Badan hukum pendidikan berfungsi memberikan pelayanan pendidikan formal kepada peserta didik;
(3) : Badan hukum pendidikan bertujuan memajukan pendidikan nasional dengan menerapkan manajemen berbasis sekolah/ madrasah pada jenjang pendidikan dasar dan menengah dan otonomi perguruan tinggi pada jenjang pendidikan tinggi;

(4) :
      1) Pengelolaan dana secara mandiri oleh badan hukum pendidikan didasarkan pada prinsip nirlaba, yaitu prinsip kegiatan yang tujuan utamanya tidak mencari laba, sehingga seluruh sisa hasil usaha dari kegiatan badan hukum pendidikan, harus ditanamkan kembali ke dalam badan hukum pendidikan untuk meningkatkan kapasitas dan/ atau mutu layanan pendidikan.
      2) Pengelolaan pendidikan formal secara keseluruhan oleh badan hukum pendidikan didasarkan pada prinsip:
a. otonomi, yaitu kewenangan dan kemampuan untuk menjalankan kegiatan secara mandiri baik dalam bidang akademik maupun non-akademik;
b. akuntabilitas, yaitu kemampuan dan komitmen untuk mempertanggung-jawabkan semua kegiatan yang dijalankan badan hukum pendidikan kepada pemangku kepentingan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
c. transparansi, yaitu keterbukaan dan' kemampuan menyajikan informasi yang relevan secara tepat waktu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan standar pelaporan yang berlaku kepada pemangku kepentingan;
d. penjaminan mutu, yaitu kegiatan sistemik dalam memberikan layanan pendidikan formal yang memenuhi atau melampaui Standar Nasional Pendidikan, serta dalam meningkatkan mutu pelayanan pendidikan secara berkelanjutan; .
e. layanan prima, yaitu orientasi dan komitmen untuk memberikan layanan pendidikan formal yang terbaik demi kepuasan pemangku kepentingan, terutama peserta didik;
f. akses yang berkeadilan, yaitu memberikan layanan pendidikan formal kepada calon peserta didik dan peserta didik, tanpa memandang latar belakang agama, ras, etnis, gender, status sosial, dan kemampuan ekonominya;
g. keberagaman, yaitu kepekaan dan sikap akomodatif terhadap berbagai perbedaan pemangku kepentingan yang bersumber dari kekhasan agama, ras, etnis, dan budaya;
h. keberlanjutan, yaitu kemampuan untuk memberikan layanan pendidikan formal kepada peserta didik secara terus-menerus, dengan menerapkan pola manajemen yang mampu menjamin keberlanjutan layanan; dan
i. partisipasi atas tanggung jawab negara, yaitu keterlibatan pemangku kepentingan dalam penyelenggaraan pendidikan formal untuk mencerdaskan kehidupan bangsa yang merupakan tanggung jawab negara.
   
      Selanjutnya dalam penjelasan UU NO.9 Tahun 2009 disebutkan: UU Sisdiknas mengamanatkan perlunya pelaksanaan manajemen pendidikan berbasis sekolah/madrasah pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, serta otonomi perguruan tinggi pada jenjang pendidikan tinggi. Untuk mewujudkan amanat tersebut, Pasal 53 UU Sisdiknas mewajibkan penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan yang berfungsi memberikan pelayanan kepada peserta didik yang bersifat nirlaba dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan. Pengaturan badan hukum pendidikan merupakan implementasi tanggung jawab negara dan tidak dimaksudkan untuk mengurangi atau menghindar dari kewajiban konstitusional negara di bidang pendidikan sehingga memberatkan masyarakat dan/atau peserta didik.
      Walaupun demikian, masyarakat dapat berperan serta dalam penyelenggaraan, pengendalian mutu, dan penyiapan dana pendidikan. Penyelenggara pendidikan formal yang berbentuk yayasan, perkumpulan, atau badan hukum lain sejenis yang telah ada sebelum pemberlakuan Undang-Undang ini tetap diakui dan dilindungi untuk mengoptimalkan peran sertanya dalam pengembangan pendidikan nasional. Namun, tata kelola penyelenggaraan pendidikan itu selanjutnya harus mengikuti ketentuan dalam Undang-Undang ini. Sehubungan dengan itu, diperlukan pengaturan tentang badan hukum pendidikan dalam bentuk undang-undang, sesuai dengan amanat Pasal 53 ayat (4) UU Sisdiknas.
      Sekalipun mendapat penolakan dari berbagai kalangan, pemerintah tetap mengesahkan UU BHP ini dengan dalih telah diamanatkan dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas. Secara garis besar UU No. 9 Tahun 2009 Tentang Badan Hukum Pendidikan menyiratkan bahwa kemandirian dan otonomi penyelenggaraan pendidikan diberikan kepada masyarakat termasuk yayasan-yayasan pendidikan yang sudah ada sebelumnya. Sayangnya, lembaga-lembaga pendidikan yang dikelola yayasan termasuk yang berbasis keagamaan akan semakin sulit berkembang karena tidak memiliki modal yang cukup untuk mengelola satuan pendidikannya secara otonom. Yang pasti, banyak peserta didik dari kelas ekonomi menengah ke atas akan memilih sekolah atau perguruan tinggi negeri otonom yang memiliki sarana dan prasarana lengkap. Tetapi bagi lembaga-lembaga pendidikan yang belum siap bersaing, UU BHP dianggap sebagai "lonceng kematian" yang begitu menyeramkan.
      Benarlah pernyataan Weiss (Boyles, 2005:78) bahwa "komersialisasi dan korporatisasi di sekolah-sekolah umum bertentangan dengan cita-cita pendidikan dernokratis". Dalam catatan. pengalamannya, ditemukan bahwa komersialisasi pendidikan di Amerika Serikat telah berdampak luas terhadap aktivitas sekolah. Banyak perusahaan besar mendatangi sekolah-sekolah dan menawarkan barang dagangannya dengan imbalan dan hadiah baik melalui guru, siswa dan orang tua. Oleh karena itu, Weiss (2005:75) menyarankan agar setiap program bisnis atau hubungan dengan sebuah perusahaan, seharusnya:

  • memiliki nilai pendidikan nyata dan mendorong kecintaan terhadap pelajaran.
  • memperkuat basis kurikulum pembelajaran, dan bukan bisnis.
  • memajukan tujuan pendidikan, tidak selamanya bertujuan untuk hubungan masyarakat
  • biarkan partisipasi kelas yang memutuskan di tingkat sekolah.
  • bersifat terbuka bagi siswa dan orangtua untuk memilih berpartisipasi secara sukarela.

      Tidak seharusnya:

  • menawarkan tour (berwisata), hadiah atau uang sebagai imbalan bagi guru dalam menawarkan barang dagangan dalam kelasnya.
  • melakukan diskriminasi terhadap setiap kelompok siswa
  • menghambat atau mengganggu waktu belajar siswa.
  • menawarkan pembelian produk oleh siswa atau orang tua.
  • menjadi penting bagi guru, siswa dan orang tua untuk mempromosikan barang dagangan.

   
      Lebih lanjut Weiss (2005:80) menegaskan sekali lagi, ekonomi nasional dan anggaran negara untuk pendidikan telah mengalami penurunan yang tajam. Tekanan untuk mencari alternatif sumber pendanaan menjadi lebih intens. Guru menghabiskan lebih banyak waktu untuk mencari dan mengorganisir perusahaan-perusahaan dengan maksud mengumpulkan dana sumbangan untuk sekolah setempat. Ini berlangsung terus-menerus. Isu-isu seperti ini membutuhkan kerja sama guru dan organisasi perhimpunan guru, untuk dibahas secara tuntas. Kebijakan pendidikan dapat digali melalui berbagai pandangan mendasar, yang membatasi hak istimewa industri/perusahaan. Buktinya, hal itu masih menjadi sebuah tantangan. Derek Bok (Sein, 2004:32), dalam kajiannya mengenai dampak komersialisasi di perguruan tinggi di Amerika Serikat menyimpulkan empat hal, yaitu: I
      Pertama, perguruan tinggi perlu melihat proses komersialisasi secara keseluruhan, dengan segala manfaat dan risikonya, dan ber­ usaha untuk mengembangkan peraturan dan ketentuan secara jelas dan tegas dipublikasikan secara luas untuk diterapkan dengan baik. Tanpa panduan khusus yang mengikat seperti itu, maka akan memberikan peluang bagi keputusan setiap pejabat untuk menerima tawaran uang dengan mengorbankan prinsip-prinsip akademis, karena jika hal itu tidak dipatuhi, maka akan bertentangan dengan ketentuan yang telah ditetapkan.
      Kedua, perguruan tinggi tidak boleh bergantung hanya pada pimpinannya untuk memberlakukan dan menegakkan aturan-aturan yang telah ditetapkan. Pimpinan selalu berada di bawah tekanan untuk dengan kemampuan sendiri, mencari sumber pendapatan baru yang memenuhi kebutuhan para guru besar (professor) sebagai bagian dari tanggung jawabnya. Tanpa bantuan aktif dari wali dan fakultas, para pemimpin kampus tidak akan mampu bertahan secara konsisten pada apa yang digariskan dan tidak bertanggungjawab atas usaha komersial.
      Ketiga, pemimpin universitas juga harus mencari kesempatan untuk membuat kesepakatan dengan situasi yang sama untuk menciptakan lembaga dalam batas-batas keuntungan dari kegiatan yang dilakukan. Dengan tidak adanya kesepakatan tersebut, akan mengerahkan kekuatan persaingan dan melakukan tekanan pada setiap perguruan tinggi untuk mengikuti jejak mereka yang paling bertanggung jawab pada institusi lain.
      Keempat, stabilitas pendanaan pemerintah secara wajar dan stabil sangat penting untuk menghindari komersialisasi semestinya. Meskipun berniat baik, kelangsungan hidup biasanya akan lebih diutamakan daripada nilai-nilai lain Jika sumber dana tradisional berkurang, maka dipastikan universitas akan berusaha menggunakan pol a pengambilan sebagian keuntungannya untuk mempertahankan programnya sehingga tetap bersaing dengan lembaga-Iembaga yang setingkat. Untuk alasan ini, dana pemerintah merupakan pertahanan utama terhadap runtuhnya nilai-nilai fundamental akademis.
      Kritikan yang tajam juga dilontarkan Tilaar (2009:40); kita ketahui dari beberapa konsekuensi dari kebijakan tersebut antara lain naiknya SPP dan masuknya universitas-universitas dalam dunia bisnis. Hal ini berarti ilmu pengetahuan telah menjadi komoditi. Hal ini memang dapat saja dimaklumi, namun demikian pengaruh selanjutnya ialah akses untuk memperoleh ilmu dan pengetahuan tersebut terbatas kepada masyarakat yang mampu. Universitas-universitas BHMN tersebut secara tidak sadar menjadi universitas elit yang hanya dapat dimasuki oleh mahasiswa dari golongan atas saja.
      Selanjutnya menurut Tilaar (2009:45; munculnya BHP sebagai suatu badan hukum yang memaksakan uniformitas penyelenggaraan pendidikan yang menghilangkan peranan masyarakat berarti perampasan ruang privat yang merupakan tumbuhnya keberagaman dalam masyarakat demokrasi. Hal ini berarti BHP akan mematikan lahirnya masyarakat madani yaitu berkembangnya manusia-manusia yang .kreatif yang dapat memberikan berbagai alternatif dalam kehidupan demokrasi.
      Berbagai pendapat dan kritikan yang disampaikan para ahli di atas menggambarkan bahwa jika pendidikan dikomersialkan, maka pada hakikatnya akan berdampak buruk dalam aspek-aspek pemberdayaan manusia. Pendidikan adalah institusi yang mendorong perkembangan setiap individu untuk tumbuh dan berkembang sesuai potensi dalam dirinya. Pendidikan tidak bisa dijadikan sebagai wahana untuk menjajakan barang dagangan maupun memperdagangkan pengetahuan untuk kepentingan sesaat dengan alasan ekonomi. Tidak berarti peserta didik tidak diperbolehkan untuk belajar mandiri dan berusaha untuk mengembangkan potensinya agar menghasilkan keuntungan ekonomi, tetapi tidak pada tempatnya, jika pendidikan disamakan dengan lembaga/ perusahaan yang hanya berorientasi pada keuntungan semata. Oleh karena itu, beberapa pertimbangan yang mungkin dapat dipikirkan bersama berkaitan dengan komersialisasi dan privatisasi pendidikan, dapat dikemukakan sebagai berikut:
a) Komersialisasi pendidikan akan berdampak pada berkembangnya individu peserta didik yang hanya akan berorientasi pada kekayaan, kehormatan, kedudukan dan persaingan yang tidak sehat. Hal ini berimbas pada kecenderungan untuk bersikap tidak kooperatif, karena masing-masing memiliki posisi yang istimewa. Dalam kurun waktu yang panjang, jika mungkin akan lahir pejabat-pejabat bermental korup karena selalu berpatokan pada nilai keuntungan dengan mengorbankan orang lain.
b) Komersialisasi pendidikan menggambarkan keinginan pemerintah untuk melepaskan tanggungjawab penyelenggaraan pendidikan pada kelompok-kelompok kepentingan yang hanya mengejar keuntungan dan mengabaikan hak dan kewajiban setiap orang untuk mengakses pendidikan.
c) Prinsip komersialisasi memungkinkan kemandirian pengelolaan lembaga pendidikan yang menawarkan fasilitas, sistem penyelenggaraan, kurikulum dengan muatan berbeda dan nuansa akademis yang terkesan elit.
d) Komersialisasi pendidikan berujung pada tingkat persaingan tidak sehat antara peserta didik, tenaga pendidikan, penyelenggara pendidikan dan bahkan melibatkan orang tua dan masyarakat secara luas.
e) Komersialisasi pendidikan akan membatasi ruang gerak kelompok masyarakat yang kurang mampu, karena layanan pendidikan yang ditawarkan berpotensi mengeluarkan biaya yang sangat besar.
f) Prinsip komersialisasi akan menghasilkan pribadi-pribadi manusia Indonesia di masa datang yang berbeda dari postur pengetahuan, kepribadian, perilaku sosial dan standar moralnya. Sehingga dikhawatirkan akan terjadi pengelompokan-pengelompokan sosial yang meruncing keretakan dan perpecahan dalam masyarakat.
g) Dalam kurun waktu yang panjang prinsip-prinsip solidaritas yang menghargai perbedaan dan memahami perbedaan sebagai sesuatu perlu dihormati, akan semakin pudar. Penyebabnya adalah karena mulai bermunculan stratifikasi sosial yang mempertajam perbedaan dalam masyarakat.
h) Bagi daerah-daerah yang tidak bermodal, maka penyelenggaraan pendidikannya berjalan apa adanya, sehingga akan terjadi perbedaan mutu pendidikan yang tidak seimbang antar daerah, antar satuan dan jenjang pendidikan.
i) Jika komersialisasi dipandang sebagai alternatif terbaik untuk meningkatkan daya saing pendidikan nasional, maka aspek-aspek sosial, budaya, etnis, ras, dan lain sebagainya tidak menjadi kabur dalam pengelolaan setiap institusi pendidikan. Artinya, semua kelompok masyarakat berhak untuk mengakses pendidikan dan diperlakukan dengan adil dan seimbang.
      Memang dalam pembahasan sebelumnya tidak disinggung konsep privatisasi, karena sebetulnya hanya berorientasi pada aspek pengelolaan suatu asset secara perseorangan atau individu tertentu. Tetapi jika ditelaah secara mendalam, prinsip-prinsip komersialisasi yang dikembangkan dalam dunia pendidikan dewasa ini cenderung ke arah swastanisasi atau proses peralihan lembaga atau badan usaha milik negara kepada pihak swasta atau kelompok masyarakat yang memiliki modal besar.
      Komersialisasi dan privatisasi memiliki wajah kembar tetapi memiliki dimensi yang sama dalam memperlakukan usahanya. Karena aspek transaksi dagang dengan cara menawarkan produk yang unggul akan menjadi daya tarik bagi pelanggan baik internal maupun eksternal. Mudah-mudahan tidak berlaku proses transaksi antara tenaga pendidik dengan siswa dan orang tua dalam proses dan hasil pendidikan yang diharapkan masyarakat. Apapun langkah dan upaya pemerintah untuk memajukan pendidikan nasional patut didukung, tetapi bilamana nilai-nilai pendidikan yang dicita-citakan dalam Pancasila dan UUD 1945 mulai terabaikan, maka tugas dan tanggungjawab setiap warga negara adalah mengingatkan sekaligus menawarkan solusi, yang cepat dan tepat.
 

BAB IIIPENUTUP

I. KESIMPULAN

      Dari pembahasan standardisasi pendidikan nasional sebelumnya maka dapat diambil beberapa kesimpulan kesimpulan :
a. Standar nasional pendidikan adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia;
b. Manifestasi dari pemberlakuan UU No. 20 Tahun 2003 dan PP No. 19 Tahun 2005, maka operasionalisasi ketentuan mengenai komponen-komponen pendidikan yang memerlukan standardisasi ditetapkan dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional.
c. Komponen-komponen pendidikan yang memerlukan standardisasi adalah :
- Standar Isi
- Standar Proses
- Standar Kompetensi Kelulusan
- Standar Tenaga Kependidkan
- Standar Sarana dan Prasarana
- Standar Pengelolaan
- Standar Pembiayaan
- Standar Penilaiian

II. SARAN

      Demikianlah makalah ini kami buat, semoga dengan adanya makalah ini dapat memberi manfaat kepada pembaca dalam memahami standar pendidikan nasional yang ada di Indonesia. Jika pembahasan kami belum lengkap, kami mohon kritikan dan saran yang membangun dari pembaca untuk kesuksesan tugas-tugas kami selanjutnya. Wassalam...

DAFTAR PUSTAKA

      Amtu, Onisimus. 2011. Manajemen Pendidikan di Era Otonomi Daerah: Konsep, Strategi, Dan Implementasi. Alfabeta : Bandung.









Pembahasan tulisan ini sama dengan :

Standar Pendidikan Nasional, Standarisasi Pendidikan Nasional

Standar Nasional Pendidikan

      

IQ, EQ, dan SQ dalam Dunia Pendidikan

Pendidikan merupakan kegiatan yang penting bagi manusia. Tanpa pendidikan manusia tidaklah bisa hidup dengan benar. Belajar dari sebuah pengalaman yang dialami sendiri memang penting, namun kita juga bisa belajar dari pengalaman orang lain. Sebelum sebuah lampu yang ditemukan oleh Thomas Alfa Edison, banyak pengalaman yang dialami oleh beliau, mulai dari kesalahan-kesalahan hingga jadilah sebuah lampu yang bisa menerangi gelapnya malam. Kita belajar untuk mengembangkan lampu tersebut menjadi lampu-lampu yang lebih baik. Begitu juga dalam pendidikan kita belajar, kita dididik dan diajarkan mana tingkah laku yang baik dan mana tingkah laku yang buruk kemudian kita bisa mengamalkan hasil dari sebuah pendidikan tersebut. Untuk mendapatkan sebuah pendidikan banyak tempat yang sudah disediakan, mulai dari Sekolah dasar, SMP, SMA, Perguruan tinggi hingga lembaga-lembaga sosial yang serupa. Sebenarnya pendidikan itu tidak hanya sekolah saja, tapi pendidikan itu mulai dari orang tua atau keluarga.

Diantara Strategi belajar mengajar yang perlu diterapkan agar menghasilkan kualitas pendidikan yang benar-benar baik dan sesuai dengan yang diharapkan adalah dengan cara menerapkan IQ, EQ dan SQ. Menurut Nggermanto (2002) IQ adalah kecerdasan manusia yang digunakan untuk berhubungan dengan dan mengelola alam. IQ setiap orang dipengaruhi oleh materi otaknya yang ditentukan oleh faktor genetika. Meski demikian, potensi IQ sangat besar. Sedangkan EQ adalah kecerdasan manusia yang terutama digunakan untuk berhubungan dan bekerjasama dengan manusia lainnya. Potensi EQ manusia lebih besar dibanding IQ. Sedangkan SQ adalah kecerdasan manusia yang digunakan untuk berhubungan dengan Tuhan. Potensi SQ setiap orang sangat besar dan tidak dibatasi oleh faktor keturunan, lingkungan atau materi lainnya. [1]

IQ, EQ dan SQ tidaklah bisa dipisahkan dalam diri seseorang, semua orang diharapkan memiliki ketiganya. Jika dipandang dari satu sudut saja, memiliki IQ yang tinggi saja sudah memadai, tapi ternyata hal tersebut belum cukup. Contoh IQ dalam kehidupan kita yaitu kemampuan siswa menghafal pelajaran yang disampaikan oleh guru, kecerdasan otak yang dimiliki oleh siswa tersebut sehingga ia bisa menyelesaikan soal-soal ujian dengan hasil berupa nilai yang tinggi. Tidak cukup memiliki IQ saja, siswa, pelajar atau mahasiswa perlu memiliki EQ . Banyak diantara pelajar atau mahasiswa yang setelah selesai dari pendidikannya kesulitan dalam hal sosial, banyak dari mereka terlihat menjadi biasa-biasa saja setelah keluar dari pendidikan. Kemudian yang perlu diterapkan adalah SQ, inilah yang menjadi pengendali seseorang, kepercayaan dan keimanannya akan menjadikan dia insan yang benar-benar mulia. Seseorang yang pintar dalam dunia teknologi, ia akan menggunakan ilmunya untuk hal yang bermanfaat. Karena ia percaya bahwa kebaikan yang ia kerjakan akan mendapatkan kebaikan pula dari Tuhannya begitu juga keburukan akan mendapat murka dari Tuhannya. Berbeda dengan yang tidak memiliki SQ, ilmu teknologi yang ia miliki tidak bisa dikendalikan olehnya, sehingga tidak asing kita dengar adanya pembobolan ATM, penipuan di dunia maya, cracker dan lain-lain.


Dengan adanya Penerapan IQ, EQ serta SQ dalam dunia pendidikan, maka akan melahirkan kualitas peserta didik sesuai harapan sekolah, keluarga dan masyarakat.

Daftar rujukan :
[1] Nggermanto, A (2002) Quantum Quatient- Kecerdasan Kuantum, Nuansa, Bandung.

Penggunaan Media Sumber Belajar dalam Proses Belajar Mengajar

Download Penggunaan Media Sumber Belajar dalam Proses Belajar Mengajar
Link : Penggunaan Media Sumber Belajar dalam Proses Belajar Mengajar.doc

A. Pengertian Media

       Sebelum uraian ini sampai pada penggunaan media oleh guru dalam proses belajar mengajar, ada baiknya dipahami apa yang dimaksud media itu sebenarnya. Kata "media" berasal dari bahasa Latin dan merupakan bentuk jamak dari kata "medium", yang secara harfiah berarti "perantara atau pengantar". Dengan demikian, media merupakan wahana penyalur informasi belajar atau penyalur pesan.

       Bila media adalah sumber belajar, maka secara luas media dapat diartikan dengan manusia, benda, ataupun peristiwa yang memungkinkan anak didik memperoleh pengetahuan dan keterampilan.

       Dalam proses belajar mengajar kehadiran media mempunyai arti yang cukup penting. Karena dalam kegiatan tersebut ketidakjelasan bahan yang disampaikan dapat dibantu dengan menghadirkan media sebagai perantara. Kerumitan bahan yang akan disampaikan kepada anak didik dapat disederhanakan dengan bantuan media. Media dapat mewakili apa yang kurang mampu guru ucapkan melalui kata-kata atau kalimat tertentu. Bahkan keabstrakan bahan dapat dikonkretkan dengan kehadiran media. Dengan demikian, anak didik lebih mudah mencerna bahan daripada tanpa bantuan media.
     
       Namun perlu diingat, bahwa peranan media tidak akan terlihat bila penggunaannya tidak sejalan dengan isi dari tujuan pengajaran yang telah dirumuskan. Karena itu, tujuan pengajaran harus dijadikan sebagai pangkal acuan untuk menggunakan media. Manakala diabaikan, maka media bukan lagi sebagai alat bantu pengajaran, tetapi sebagai penghambat dalam pencapaian tujuan secara efektif dan efisien.
     
       Akhirnya, dapat dipahami bahwa media adalah alat bantu apa saja yang dapat dijadikan sebagai penyalur pesan guna mencapai tujuan pengajaran,
     
B. Media sebagai Alat Bantu
     
       Media sebagai alat bantu dalam proses belajar mengajar adalah suatu kenyataan yang tidak dapat dipungkiri. Karena memang gurulah yang menghendakinya untuk membantu tugas guru dalam menyampaikan pesan-pesan dari bahan pelajaran yang diberikan oleh guru kepada anak didik. Guru sadar bahwa tanpa bantuan media, maka bahan pelajaran sukar untuk dicerna dan dipahami oleh setiap anak didik, terutama bahan pelajaran yang rumit atau kompleks.
     
       Setiap materi pelajaran tentu memiliki tingkat kesukaran yang bervariasi. Pada satu sisi ada bahan pelajaran yang tidak memerlukan alat bantu, tetapi di lain pihak ada bahan pelajaran yang sangat memerlukan alat bantu berupa media pengajaran seperti globe, grafik, gambar, dan sebagainya. Bahan pelajaran dengan tingkat kesukaran yang tinggi tentu sukar diproses oleh anak didik. Apalagi bagi anak didik yang kurang menyukai bahan pelajaran yang disampaikan itu.
     
       Anak didik cepat merasa bosan dan kelelahan tentu tidak dapat mereka hindari, disebabkan penjelasan guru yang sukar dicerna dan dipahami. Guru yang bijaksana tentu sadar bahwa kebosanan dan kelelahan anak didik adalah berpangkal dari penjelasan yang diberikan guru bersimpang siur, tidak ada fokus masalahnya. Hal ini tentu saja harus dicarikan jalan keluarnya. Jika guru tidak memiliki kemampuan untuk menjelaskan suatu bahan dengan baik, apa salahnya jika menghadirkan media sebagai alat bantu pengajaran guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelum pelaksanaan pengajaran.
     
       Sebagai alat bantu, media mempunyai fungsi melicinkan jalan menuju tercapainya tujuan pengajaran. Hal ini dilandasi dengan keyakinan bahwa proses belajar mengajar dengan bantuan media mempertinggi kegiatan belajar anak didik dalam tenggang waktu yang cukup lama. Itu berarti kegiatan belajar anak didik dengan bantuan media akan menghasilkan proses dan hasil belajar yang lebih baik daripada tanpa bantuan media.
     
       Walaupun begitu, penggunaan media sebagai alat bantu tidak bisa sembarangan menurut sekehendak hati guru. Tetapi harus memperhatikan dan mempertimbangkan tujuan. Media yang dapat menunjang tercapainya tujuan pengajaran tentu lebih diperhatikan. Sedangkan media yang tidak menunjang tentu saja harus disingkirkan jauh-jauh untuk sementara. Kompetensi guru sendiri patut dijadikan perhitungan. Apakah mampu atau tidak untuk mempergunakan media tersebut. Jika tidak, maka jangan mempergunakannya, sebab hal itu akan sia-sia. Malahan bisa mengacaukan jalannya proses belajar mengajar.
     
       Akhirnya, dapat dipahami bahwa media adalah alat bantu dalam proses belajar mengajar. Dan gurulah yang mempergunakannya untuk membelajarkan anak didik demi tercapainya tujuan pengajaran.
     
C. Media Sebagai Sumber Belajar
     
       Belajar mengajar adalah suatu proses yang mengolah sejumlah nilai untuk dikonsumsi oleh setiap anak didik. Nilai-nilai itu tidak datang dengan sendirinya, tetapi terambil dari berbagai sumber. Sumber belajar yang sesungguhnya banyak sekali terdapat di mana-mana; di sekolah, di halaman, di pusat kota, di pedesaan, dan sebagainya. Udin Saripuddin dan Winataputra (199: 65) mengelompokkan sumber-sumber belajar menjadi lima kategori, yaitu manusia, buku perpustakaan, media massa, alam lingkungan, dan media pendidikan. Karena itu, sumber belajar adalah segala sesuatu yang dapat dipergunakan sebagai tempat di mana bahan pengajaran terdapat atau asal untuk belajar seseorang.
     
       Media pendidikan sebagai salah satu sumber belajar ikut membantu guru memperkaya wawasan anak didik. Aneka macam bentuk dan jenis media pendidikan yang digunakan oleh guru menjadi sumber ilmu pengetahuan bagi anak didik. Dalam menerangkan suatu benda, guru dapat membawa bendanya secara langsung ke hadapan anak didik di kelas. Dengan menghadirkan bendanya seiring dengan penjelasan mengenai benda itu, maka benda itu dijadikan sebagai sumber belajar.
     
       Kalau dalam pendidikan di masa lalu, guru merupakan satu-satunya sumber belajar bagi anak didik. Sehingga kegiatan pendidikan cenderung masih tradisional. Perangkat teknologi penyebarannya masih sangat terbatas dan belum memasuki dunia pendidikan. Tetapi lain halnya sekarang, perangkat teknologi sudah ada di mana-mana. Pertumbuhan dan perkembangannya hampir-hampir tak terkendali, sehingga wabahnya pun menyusup ke dalam dunia pendidikan. Di sekolah-sekolah kini, terutama di kota-kota besar, teknologi dalam berbagai bentuk dan jenisnya sudah dipergunakan untuk mencapai tujuan. Ternyata teknologi, yang disepakati sebagai media itu, tidak hanya sebagai alat bantu, tetapi juga sebagai sumber belajar dalam proses belajar mengajar.
     
       Media sebagai sumber belajar diakui sebagai alat bantu auditif, visual, dan audiovisual. Penggunaan ketiga jenis sumber belajar ini tidak sembarangan, tetapi harus disesuaikan dengan perumusan tujuan instruksional, dan tentu saja dengan kompetensi guru itu sendiri, dan sebagainya.
     
       Anjuran agar menggunakan media dalam pengajaran terkadang sukar dilaksanakan, disebabkan dana yang terbatas untuk membelinya. Menyadari akan hal itu, disarankan kembali agar tidak memaksakan diri untuk membelinya, tetapi cukup membuat media pendidikan yang sederhana selama menunjang tercapainya tujuan pengajaran. Cukup banyak bahan mentah untuk keperluan pembuatan media pendidikan dan dengan pemakaian keterampilan yang memadai. Untuk tercapainya tujuan pengajaran tidak mesti dilihat dari kemahalan suatu media, yang sederhana juga bisa mencapainya, asalkan guru pandai menggunakannya. Maka guru yang pandai menggunakan media adalah guru yang bisa manipulasi media sebagai sumber belajar dan sebagai penyalur informasi dari bahan yang disampaikan kepada anak didik dalam proses belajar mengajar.
     
D. Macam-macam Media
     
       Media yang telah dikenal dewasa ini tidak hanya terdiri dari dua jenis, tetapi sudah lebih dari itu. Klasifikasinya bisa dilihat dari jenisnya, daya liputnya, dan dari bahan serta cara pembuatannya. Semua ini akan dijelaskan pada pembahasan berikut.
     
1. Dilihat dari Jenisnya, Media Dibagi ke Dalam:
     
       a. Media Auditif
       Media auditif adalah media yang hanya mengandalkan kemampuan suara saja, seperti radio, cassette recorder, piringan hitam. Media ini tidak cocok untuk orang tuli atau mempunyai kelainan dalam pendengaran.
     
       b. Media Visual
       Media visual adalah media yang hanya mengandalkan indra penglihatan. Media visual ini ada yang menampilkan gam bar diam seperti film strip (film rangkai), slides (film bingkai) foto, gambar atau lukisan, dan cetakan. Ada pula media visual yang menampilkan gambar atau simbol yang bergerak seperti film bisu, dan film kartun.
     
       c. Media Audiovisual
       Media audiovisual adalah media yang mempunyai unsur suara dan unsur gambar. Jenis media ini mempunyai kemampuan yang lebih baik, karena meliputi kedua jenis media yang pertama dan kedua. Media ini dibagi lagi ke dalam:

1. Audiovisual Diam, yaitu media yang menampilkan suara dan gambar diam seperti film bingkai suara (sound slides), film rangkai suara, dan cetak suara.
2. Audiovisual Gerak, yaitu media yang dapat menampilkan unsur suara dan gambar yang bergerak seperti film suara dan video­ cassette.

1. Pembagian lain dari media ini adalah:
a) Audiovisual Murni, yaitu baik unsur suara maupun unsur gambar berasal dari satu sumber seperti film video-cassette, dan
b) Audiovisual Tidak Murni, yaitu yang unsur suara dan unsur gambarnya berasal dari sumber yang berbeda, misalnya film bingkai suara yang unsur gambarnya bersumber dari slides proyektor dan unsur suaranya bersumber dari tape recorder. Contoh lainnya adalah film strip suara dan cetak suara.

2. Dilihat dari Daya Liputnya, Media Dibagi Dalam:
a) Media dengan Daya Liput Luas dan Serentak
Penggunaan media ini tidak terbatas oleh tempat dan ruang serta dapat menjangkau jumlah anak didik yang banyak dalam waktu yang sama.
Contoh: radio dan televisi.
b) Media dengan Daya Liput yang Terbatas oleh Ruang dan Tempat
Media ini dalam penggunaannya membutuhkan ruang dan tempat yang khusus seperti film, sound slide, film rangkai, yang harus menggunakan tempat yang tertutup dan gelap.
c) Media untuk Pengajaran Individual
Media ini penggunaannya hanya untuk seorang diri. termasuk media ini adalah modul berprogram dan pengajaran melalui komputer.

3. Dilihat dari Bahan Pembuatannya, Media Dibagi Dalam:
a. Media Sederhana
Media ini bahan dasarnya mudah diperoleh dan harganya murah, cara pembuatannya mudah, dan penggunaannya tidak sulit.
b. Media Kompleks
Media ini adalah media yang bahan dan alat pembuatannya sulit diperoleh serta mahal harganya, sulit membuatnya, dan penggunaannya memerlukan keterampilan yang memadai.

       Dari jenis-jenis dan karakteristik media sebagaimana disebutkan di atas, kiranya patut menjadi perhatian dan pertimbangan bagi guru ketika akan memilih dan mempergunakan media dalam pengajaran. Karakteristik media yang mana yang dianggap tepat untuk menunjang pencapaian tujuan pengajaran, itulah media yang seharusnya dipakai.

E. Prinsip-prinsip Pemilihan dan Penggunaan Media

       Sebagaimana telah disinggung di depan, bahwa setiap media pengajaran memiliki keampuhan masing-masing, maka diharapkan kepada guru agar menentukan pilihannya sesuai dengan kebutuhan pada saat suatu kali pertemuan. Hal ini dimaksudkan jangan sampai penggunaan media menjadi penghalang proses belajar mengajar yang akan guru lakukan di kelas. Harapan yang besar tentu saja agar media menjadi alat bantu yang dapat mempercepat/mempermudah pencapaian tujuan pengajaran.

       Ketika suatu media akan dipilih, ketika suatu media akan dipergunakan, ketika itulah beberapa prinsip perlu guru perhatikan dan dipertimbangkan.
       Drs. Sudirman N. (1991) mengemukakan beberapa prinsip pemilihan media pengajaran yang dibaginya ke dalam tiga kategori, sebagai berikut:

       1. Tujuan Pemilihan
       Memilih media yang akan digunakan harus berdasarkan maksud dan tujuan pemilihan yangjelas. Apakah pemilihan media itu untuk pembelajaran (siswa belajar), untuk informasi yang bersifat umum, ataukah untuk sekadar hiburan saja mengisi waktu kosong? Lebih spesifik lagi, apakah untuk pengajaran kelompok atau pengajaran individual, apakah untuk sasaran tertentu seperti anak TK, SD, SMP, SMU, tuna rungu, tuna netra, masyarakat pedesaan, ataukah masyarakat perkotaan. Tujuan pemilihan ini berkaitan dengan kemampuan berbagai media.
     
       2. Karakteristik Media Pengajaran
     
       Setiap media mempunyai karakteristik tertentu, baik dilihat dari segi keampuhannya, cara pembuatannya, maupun cara penggunaannya. Memahami karakteristik berbagai media pengajaran merupakan kemampuan dasar yang harus dimiliki guru dalam kaitannya dengan keterampilan pemilihan media pengajaran. Di samping itu, memberikan "kemungkinan pada guru untuk menggunakan berbagai jenis media pengajaran secara bervariasi. Sedangkan apabila kurang memahami karakteristik media tersebut guru akan dihadapkan kepada kesulitan dan cenderung bersikap spekulatif.
     
       3. Alternatif Pilihan
     
       Memilih pada hakikatnya adalah proses membuat keputusan dari berbagai alternatif pilihan. Guru bisa menentukan pilihan media mana yang akan digunakan apabila terdapat beberapa media yang dapat diperbandingkan. Sedangkan apabila media pengajaran itu hanya ada satu, maka guru tidak bisa memilih, tetapi menggunakan apa adanya.
     
       Dalam menggunakan media hendaknya guru memperhatikan sejumlah prinsip tertentu agar penggunaan media tersebut dapat mencapai hasil yang baik. Prinsip-prinsip itu menurut Dr. Nana Sudjana (1991: 104) adalah:
1. Menentukan jenis media dengan tepat; artinya, sebaiknya guru memilih terlebih dahulu media manakah yang sesuai dengan tujuan dan bahan pelajaran yang akan diajarkan.
2. Menetapkan atau memperhitungkan subjek dengan tepat; artinya, perlu diperhitungkan apakah penggunaan media itu sesuai dengan tingkat kematangan/kemampuan anak didik.
3. Menyajikan media dengan tepat; artinya, teknik dan metode penggunaan media dalam pengajaran haruslah disesuaikan dengan tujuan, bahan metode, waktu, dan sarana yang ada.
4. Menempatkan atau memperlihatkan media pada waktu, tempat dan situasi yang tepat. Artinya, kapan dan dalam situasi mana pada waktu mengajar media digunakan. Tentu tidak setiap saat atau selama proses belajar mengajar terus-menerus memperlihatkan atau menjelaskan sesuatu dengan media pengajaran.

F. Dasar Pertimbangan Pemilihan dan Penggunaan Media

       Agar media pengajaran yang dipilih itu tepat, di samping memenuhi prinsip-prinsip pemilihan,juga terdapat beberapa faktor dan kriteria yang perlu diperhatikan sebagaimana diuraikan berikut ini.

1. Faktor-faktor yang Perlu Diperhatikan dalam Memilih Media Pengajaran

a. Objektivitas
       Unsur subjektivitas guru dalam memilih media pengajaran harus dihindarkan. Artinya, guru tidak boleh memilih suatu media pengajaran atas dasar kesenangan pribadi. Apabila secara objektif, berdasarkan hasil penelitian atau percobaan, suatu media pengajaran menunjukkan keefektifan dan efisiensi yang tinggi, maka guru jangan merasa bosan menggunakannya. Untuk menghindari pengaruh unsur subjektivitas guru, alangkah baiknya apabila dalam memilih media pengajaran itu guru meminta pandangan atau saran dari teman sejawat, dan/atau melibatkan siswa.

b. Program Pengajaran
       Program pengajaran yang akan disampaikan kepada anak didik harus sesuai dengan kurikulum yang berlaku, baik isinya, strukturnya, maupun kedalamannya. Meskipun secara teknis program itu sangat baik, jika tidak sesuai dengan kurikulum ia tidak akan banyak membawa manfaat; bahkan mungkin hanya menambah beban, baik bagi anak didik maupun bagi guru di samping akan membuang-buang waktu, tenaga dan biaya. Terkecuali jika program itu hanya dimaksudkan untuk mengisi waktu senggang saja, daripada anak didik bermain-main tidak karuan.

c. Sasaran Program
Sasaran program yang dimaksud adalah anak didik yang akan menerima informasi pengajaran melalui media pengajaran. Pada tingkat usia tertentu dan dalam kondisi tertentu anak didik mempunyai kemampuan tertentu pula, baik cara berpikirnya, daya imajinasinya, kebutuhannya, maupun daya tahan dalam belajarnya. Untuk itu maka media yang akan digunakan harus dilihat kesesuaianya dengan tingkat perkembangan anak didik, baik dari segi bahasa, simbol-simbol yang digunakan, cara dan kecepatan penyajiannya, ataupun waktu penggunaannya.

d. Situasi dan Kondisi
Situasi dan kondisi yang ada juga perlu mendapat perhatian dalam menentukan pilihan media pengajaran yang akan digunakan. Situasi dan kondisi yang dimaksud meliputi:
1) Situasi dan kondisi sekolah atau tempat dan ruangan yang akan dipergunakan, seperti ukurannya, perlengkapannya, ventilasinya.
2) Situasi serta kondisi anak didik yang akan mengikuti pelajaran mengenai jumlahnya, motivasi, dan kegairahannya. Anak didik yang sudah melakukan praktik yang berat, seperti praktik olahraga, biasanya kegairahan belajarnya sangat menurun.

e. Kualitas Teknik
Dari segi teknik, media pengajaran yang akan digunakan perlu diperhatikan, apakah sudah memenuhi syarat. Barangkali ada rekaman audionya atau gambar-gambar atau alat-alat bantunya yang kurang jelas atau kurang lengkap, sehingga perlu penyempumaan sebelum digunakan. Suara atau gambar yang kurang jelas bukan saja tidak menarik, tetapi juga dapat mengganggu jalannya proses belajar mengajar.

f. Keefektifan dan Efisiensi Penggunaan
       Keefektifan berkenaan dengan hasil yang dicapai, sedangkan efisiensi berkenaan dengan proses pencapaian hasil tersebut. Keefektifan dalam penggunaan media meliputi apakah dengan menggunakan media tersebut informasi pengajaran dapat diserap oleh anak didik dengan optimal, sehingga menimbulkan perubahan tingkah lakunya. Sedangkan efisiensi meliputi apakah dengan menggunakan media tersebut waktu, tenaga, dan biaya yang dikeluarkan untuk mencapai tujuan tersebut sedikit mungkin. Ada media yang dipandang sangat efektif untuk mencapai suatu tujuan, namun proses pencapaiannya tidak efisien, baik dalam pengadaannya maupun di penggunaannya. Demikian pula sebaliknya, ada media yang efisien dalam pengadaannya atau penggunaannya, namun tidak efektif dalam pencapaian hasilnya. Memang sangat sulit untuk mempertahankan keduanya (efektif dan efisien) secara bersamaan, tetapi di dalam memilih media pengajaran guru sedapat mungkin menekan jarak di antara keduanya.

2. Kriteria Pemilihan Media Pengajaran

Apabila akan menggunakan media pengajaran dengan cara memanfaatkan media yang telah ada, guru dapat menjadikan kriteria berikut sebagai dasar acuan:
a. Apakah topik yang akan dibahas dalam media tersebut dapat menarik minat anak didik untuk belajar?
b. Apakah materi yang terkandung dalam media tersebut penting dan berguna bagi anak didik?
c. Apabila media itu sebagai sumber pengajaran yang pokok, apakah isinya relevan dengan kurikulum yang berlaku?
d. Apakah materi yang disajikan otentik dan aktual, ataukah informasi yang sudah lama diketahui massa dan atau peristiwa yang telah lama terjadi?
e. Apakah fakta dan konsepnya terjamin kecermatannya atau ada suatu hal yang masih diragukan?
f. Apakah format penyajiannya berdasarkan tata urutan belajar yang. logis?
g. Apakah pandangannya objektif dan tidak mengandung unsur propaganda atau hasutan terhadap anak didik?
h. Apakah narasi, gambar, efek, warna, dan sebagainya, memenuhi syarat standar kualitas teknis?
i. Apakah bobot penggunaan bahasa, simbol-simbol, dan ilustrasinya sesuai dengan tingkat kematangan berpikir anak didik .'
j. Apakah sudah diuji kesahihannya (validitas)?

Untuk jenis media rancangan (yang dibuat sendiri), pertanyaan yang dijadikan sebagai acuan di antaranya sebagai berikut:
a. Apakah materi yang akan disampaikan itu untuk tujuan pengajaran atau hanya informasi tambahan atau hiburan.
b. Apakah media yang dirancang itu untuk keperluan pembelajaran atau alat bantu pengajaran (peraga)?
c. Apakah dalam pengajarannya akan menggunakan strategi kognitif, afektif, atau psikomotorik?
d. Apakah materi pelajaran yang akan disampaikan itu masih sangat asing bagi anak didik?
e. Apakah perlu rangsangan gerak seperti untuk pengajaran bahasa?
f. Apakah perlu rangsangan seperti pengajaran seni atau olahraga?
g. Apakah perlu rangsangan warna?

   Setelah tujuh pertanyaan tersebut terjawab, maka guru dapat mengajukan alternatif media yang akan dirancang. Alternatif tersebut mungkin jenis media audio, media visual, atau media audiovisual. Selanjutnya ajukan lagi pertanyaan sebagai acuan berikutnya.
a. Apakah bahan dasarnya tersedia atau mudah diperoleh?
b. Apakah alat pembuatannya tersedia?
c. Apakah pembuatannya tidak terlalu rumit?
d. Apabila menghadapi kesulitan, apakah ada orang-orang yang dapat dimintai bantuannya?
e. Apakah mudah dalam penggunaannya dan atau tidak membahayakan seperti meledak, menimbulkan kebakaran, dan sebagainya?
f. Apakah tersedia dana untuk pembuatannya?

       Setelah pertanyaan-pertanyaan tersebut terjawab, akhirnya guru akan dapat menentukan media mana yang dianggap cocok untuk diproduksi. Apabila ternyata tidak ada satu media pun yang dapat diproduksi (dirancang), maka guru harus mencari sumber pengajaran lainnya, misalnya menggunakan narasumber (resource person).

       Selain kriteria pemilihan media pengajaran sebagaimana disebutkan di atas, Nana Sudjana dan Ahmat Rivai (1991: 5) juga mengemukakan rumusannya. Menurut mereka, dalam memilih media untuk kepentingan pengajaran sebaiknya memperhatikan kriteria-kriteria sebagai berikut:

a. Ketepatannya dengan tujuan pengajaran; artinya, media pengajaran dipilih atas dasar tujuan-tujuan instruksional yang telah ditetapkan. Tujuan-tujuan instruksional yang berisikan unsur-unsur pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, lebih mungkin digunakannya media pengajaran.
b. Dukungan terhadap isi bahan pelajaran; artinya, bahan pelajaran yang sifatnya fakta, prinsip, konsep dan generalisasi sangat memerlukan bantuan media agar lebih mudah dipahami siswa.
c. Kemudahan memperoleh media; artinya media yang diperlukan mudah diperoleh setidak-tidaknya mudah dibuat oleh guru pada waktu mengajar. Media grafis umumnya mudah dibuat oleh guru tanpa biaya yang mahal, di samping sederhana dan praktis penggunaannya.
d. Keterampilan guru dalam menggunakannya; apa pun jenis media yang diperlukan syarat utama adalah guru dapat menggunakannya dalam proses pengajaran. Nilai dan manfaat yang diharapkan bukan pada medianya, tetapi dampak dari penggunaannya oleh guru pada saat terjadinya interaksi belajar siswa dengan lingkungannya. Adanya OHP, proyektor film, komputer, dan alat-alat canggih lainnya, tetapi dapat menggunakannya dalam pengajaran untuk mempertinggi kualitas pengajaran.
e. Tersedia waktu untuk menggunakannya, sehingga media tersebut dapat bermanfaat bagi siswa selama pengajaran berlangsung.
f. Sesuai dengan taraf berpikir siswa; memilih media untuk pendidikan dan pengajaran harus sesuai dengan taraf berpikir siswa, sehingga makna terkandung di dalamnya dapat dipahami oleh siswa. Menyajikan grafik yang berisi data dan angka atau proporsi dalam bentuk persen bagi siswa SD kelas-kelas rendah tidak ada manfaatnya. Mungkin lebih tepat dalam bentuk gambar atau poster. Demikian juga diagram yang menjelaskan alur hubungan suatu konsep atau prinsip hanya bisa dilakukan bagi siswa yang telah memiliki kadar berpikir yang tinggi.

       Dengan kriteria pemilihan media tersebut, guru dapat lebih mudah menggunakan media mana yang dianggap tepat untuk membantu mempermudah tugas-tugasnya sebagai pengajar. Kehadiran media dalam proses pengajaran jangan dipaksakan sehingga mempersulit tugas guru, tapi harus sebaliknya, yakni mempermudah guru dalam menjelaskan bahan pengajaran. Karena itu, media bukan keharusan, tetapi sebagai pelengkap jika dipandang perlu untuk mempertinggi kualitas belajar mengajar.
G. Pengembangan dan Pemanfaatan Media Sumber .
       Media pengajaran adalah suatu alat bantu yang tidak bernyawa. Alat ini bersifat netral. Peranannya akan terlihat jika guru pandai memanfaatkannya dalam belajar mengajar. Media apa yang akan dimanfaatkan oleh guru? Kapan pemanfaatannya? Di mana pemanfaatannya? Bagaimana cara pemanfaatannya? Adalah serentetan pernyataan yang perlu diajukan dalam rangka pengembangan dan pemanfaatan media pengajaran dalam proses belajar mengajar.
     
       Sebagai alat bantu dalam proses belajar mengajar, media mempunyai beberapa fungsi. Nana Sudjana (1991) merumuskan fungsi media pengajaran menjadi enam kategori, sebagai berikut:
1) Penggunaan media dalam proses belajar mengajar bukan merupakan fungsi tambahan, tetapi mempunyai fungsi sendiri sebagai alat bantu untuk mewujudkan situasi belajar mengajar yang efektif.
2) Penggunaan media pengajaran merupakan bagian yang integral dari keseluruhan situasi mengajar. Ini berarti bahwa media pengajaran merupakan salah satu unsur yang harus dikembangkan oleh guru.
3) Media pengajaran dalam pengajaran, penggunaannya integral dengan tujuan dari isi pelajaran. Fungsi ini mengandung pengertian bahwa penggunaan (pemanfaatan) media harus melihat kepada tujuan dan bahan pelajaran.
4) media dalam pengajaran bukan semata-mata alat hiburan, dalam arti digunakan hanya sekadar melengkapi proses belajar supaya lebih menarik perhatian siswa.
5) Penggunaan media dalam pengajaran lebih diutamakan untuk mempercepat proses belajar mengajar dan membantu siswa dalam menangkap pengertian yang diberikan guru.
6) Penggunaan media dalam pengajaran diutamakan untuk mempertinggi mutu belajar mengajar. Dengan perkataan lain, menggunakan media, hasiI belajar yang dicapai siswa akan tahan lama diingat siswa, sehingga mempunyai nilai tinggi.
     
       Ketika fungsi-fungsi media pelajaran itu diaplikasikan ke dalam proses belajar mengajar, maka terlihatlah peranannya sebagai berikut :

a) Media yang digunakan guru sebagai penjelasan dari keterangan terhadap suatu bahan yang guru sampaikan.
b) Media dapat memunculkan permasalahan untuk dikaji lebih lanjut dan dipecahkan oleh para siswa dalam proses belajarnya. Paling tidak guru dapat memperoleh media sebagai sumber pertanyaan atau stimulasi belajar siswa.
c) Media sebagai sumber belajar bagi siswa. Media sebagai bahan konkret berisikan bahan-bahan yang harus dipelajari para siswa, baik individual maupun kelompok. Kekonkretan sifat media itulah akan banyak membantu tugas guru dalam kegiatan belajar mengajar.

   Bertolak dari fungsi dan peranan media diharapkan pemahaman guru terhadap media menjadi jelas, sehingga tidak memanfaatkan media secara sembarangan. Prinsip-prinsip dan faktor-faktor sebagaimana disebutkan di atas, kiranya jangan diabaikan. Semua itu sangat penting dalam rangka pengembangan dan pemanfaatan media dalam proses belajar mengajar.

   Sebagai media yang meletakkan cara berpikir konkret dalam kegiatan belajar mengajar, pengembangannya diserahkan kepada guru. Guru dapat mengembangkan media sesuai dengan kemampuannya. Dalam hal ini akan terkait dengan kecermatan guru memahami kondisi psikologis siswa, tujuan metode, dan kelengkapan alat bantu. Kesesuaian dan keterpaduan dari semua unsur ini akan sangat mendukung pengembangan media pengajaran.

   Kegagalan seorang guru dalam mengembangkan media pengajaran akan terjadi jika penguasaan terhadap karakteristik media itu sendiri sangat kurang. Pemanfaatan media dengan maksud mengulur-ulur waktu tidak dibenarkan. Karena kegiatan belajar mengajar bukan untuk hal itu. Apabila pemanfaatan media dengan dalih untuk memperkenalkan kekayaan sekolah. Semua itu tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan pencapaian tujuan pengajaran. Karena itu, pemanfaatan media hanya diharuskan dengan maksud untuk mencapai tujuan pengajaran.

Tetapi pemanfaatan media pengajaran juga tidak asal-asalan menurut keinginan guru, tidak berencana dan sistematik. Guru harus memanfaatkannya menurut langkah-Iangkah tertentu, dengan perencanaan yang sistematik. Ada enam langkah yang bisa ditempuh guru pada waktu ia mengajar dengan mempergunakan media. Langkah­langkah itu adalah:
1. Merumuskan tujuan pengajaran dengan memanfaatkan media.
2. Persiapan guru. Pada fase ini guru memilih dan menetapkan media mana yang akan dimanfaatkan guna mencapai tujuan. Dalam hal ini prinsip pemilihan dan dasar pertimbangannya patut diperhatikan.
3. Persiapan kelas. Pada fase ini siswa atau kelas harus mempunyai persiapan, sebelum mereka menerima pelajaran dengan menggunakan media. Guru harus dapat memotivasi mereka agar dapat menilai, mengantisipasi, menghayati pelajaran dengan menggunakan media pengajaran.
4. Langkah penyajian pelajaran dan pemanfaatan media. pada fase ini penyajian bahan pelajaran dengan memanfaatkan media pengajaran. Keahlian guru dituntut di sini. Media diperbantukan oleh guru untuk membantu tugasnya menjelaskan bahan pelajaran. Media dikembangkan penggunaannya untuk keefektifan dan efisiensi pencapaian tujuan.
5. Langkah kegiatan belajar siswa. Pada fase ini siswa belajar dengan memanfaatkan media pengajaran. Pemanfaatan media di sini bisa siswa sendiri yang mempraktikkannya ataupun guru langsung memanfaatkannya, baik di kelas atau di luar kelas.
6. Langkah evaluasi pengajaran. Pada langkah ini kegiatan belajar dievaluasi, sampai sejauh mana tujuan pengajaran tercapai, yang sekaligus dapat dinilai sejauh mana pengaruh media sebagai alat bantu dapat menunjang keberhasilan proses belajar siswa. Hasil evaluasi dapat dijadikan dasar atau bahan bagi proses belajar berikutnya.

       Manfaat penggunaan media dalam kegiatan belajar mengajar, terutama untuk tingkat SD, sangat penting. Sebab pada masa ini siswa masih berpikir konkret, belum mampu berpikir abstrak. Kehadiran media sangat membantu mereka dalam memahami konsep tertentu, yang tidak atau kurang mampu dijelaskan dengan bahasa. Ketidakmampuan guru menjelaskan sesuatu bahan itulah dapat diwakili oleh peranan media. Di sini nilai praktis media terlihat, yang bermanfaat bagi siswa dan guru dalam proses belajar mengajar.

Nana Sudjana (1991) mengemukakan nilai-nilai praktis media pengajaran adalah:
a) Dengan media dapat meletakkan dasar-dasar yang nyata untuk berpikir. Karena itu, dapat mengurangi verbalisme.
b) Dengan media dapat memperbesar minat dan perhatian siswa untuk belajar.
c) Dengan media dapat meletakkan dasar untuk perkembangan belajar sehingga hasil belajar bertambah mantap.
d) Memberikan pengalaman yang nyata dan dapat menumbuhkan kegiatan berusaha sendiri pada setiap siswa.
e) Menumbuhkan pemikiran yang teratur dan berkesinambungan.
f) Membantu tumbuhnya pemikiran dan memantau berkembangnya kemampuan berbahasa.
g) Memberikan pengalaman yang tak mudah diperoleh dengan cara lain serta membantu berkembangnya efisiensi dan pengalaman belajar yang lebih sempurna.
h) Bahan pengajaran akan lebih jelas maknanya, sehingga dapat lebih dipahami oleh para siswa, dan memungkinkan siswa menguasai tujuan pengajaran lebih baik.
i) Metode mengajar akan lebih bervariasi, tidak semata-mata komunikasi verbal melalui penuturan kata-kata oleh guru, sehingga siswa tidak bosan dan guru tidak kehabisan tenaga, apalagi bila guru mengajar untuk setiap jam pelajaran.
j) Siswa lebih banyak melakukan kegiatan belajar, sebab tidak hanya mendengarkan uraian guru, tetapi juga aktivitas lain seperti mengamati, melakukan, mendemonstrasikan,dan lain-lain.

      Nilai-nilai praktik media pengajaran menurut Sudirman N. dkk. (1991) adalah:
a. Meletakkan dasar-dasar yang konkret dari konsep yang abstrak sehingga dapat mengurangi kepahaman yang bersifat verbalisme. Misalnya, untuk menjelaskan bagaimana sistem peredaran darah pada manusia, digunakan film.
b. Menampilkan objek yang terlalu besar yang tidak memungkinkan untuk dibawa ke dalam kelas; misalnya pasar, pabrik, binatang­binatang yang besar, alat-alat perang. Objek-objek tersebut cukup ditampilkan melalui foto, film, atau gambar.
c. Memperlambat gerakan yang terlalu cepat dan mempercepat gerakan yang lambat. Gerakan yang terlalu cepat misalnya gerakan kapal terbang, mobil, mekanisme kerja suatu mesin, dan perubahan wujud suatu zat, metamorfosis.
d. Karena informasi yang diperoleh siswa berasal dari satu sumber serta dalam situasi dan kondisi yang sama, maka dimungkinkan keseragaman pengamatan dan persepsi pada siswa.
e. Membangkitkan motivasi belajar siswa.
f. Dapat mengontrol dan mengatur waktu belajar siswa.
g. Memungkinkan siswa berinteraksi secara langsung dengan lingkungannya (sumber belajar).
h. Bahan pelajaran dapat diulang sesuai dengan kebutuhan dan atau disimpan untuk digunakan pada saat yang lain.
i. Memungkinkan untuk menampilkan objek yang langka seperti peristiwa gerhana matahari total atau binatang yang hidup di kutub.
j. Menampilkan objek yang sulit diamati oleh mata telanjang, misalnya mempelajari tentang bakteri dengan menggunakan mikroskop.

       Demikian pembahasan mengenai penggunaan media dalam proses belajar mengajar ini. Untuk dapat merasakan manfaatnya, guru dapat mempergunakan dan mengembangkannya dalam proses belajar mengajar, baik di kelas maupun di luar kelas. Media yang dapat dimanfaatkan oleh guru adalah media yang sesuai dengan misi tujuan. Cara memanfaatkan media tergantung dari jenis dan karakteristik suatu media. Cara kerja media visual tentu berbeda dengan cara kerja media audiovisual. Cara pemakaiannya tidak mesti harus guru, tetapi siswa juga bisa, selama untuk mencapai tujuan pengajaran.
     
Referensi :

Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain, Strategi Belajar Mengajar. PT Rineka Cipta, Jakarta, Cet.IV. 2010
     

Keberhasilan Belajar Mengajar

download file Keberhasilan Belajar Mengajar format ms.word
Link : Download keberhasilan Belajar Mengajar.docx

A. Pengertian Keberhasilan

       Untuk menyatakan bahwa suatu proses belajar mengajar dapat dikatakan berhasil, setiap guru memiliki pandangan masing-masing sejalan dengan filsafatnya. Namun, untuk menyamakan persepsi sebaiknya kita berpedoman pada kurikulum yang berlaku saat ini yang telah disempurnakan, antara lain bahwa ''Suatu proses belajar mengajar tentang Suatu bahan pengajaran dinyatakan berhasil apabila tujuan instruksional khusus (TIK)-nya dapat tercapai".

       Untuk mengetahui tercapai tidaknya TIK, guru perlu mengadakan tes formatif setiap selesai menyajikan satu bahasan kepada siswa. Penilaian formatif ini untuk mengetahui sejauh mana siswa telah menguasai tujuan instruksional khusus (TIK) yang ingin dicapai. Fungsi penilaian ini adalah untuk memberikan umpan batik kepada guru dalam rangka memperbaiki proses belajar mengajar dan melaksanakan program remedial bagi siswa yang belum berhasil.

       Karena itulah, suatu proses belajar mengajar tentang suatu bahan pengajaran dinyatakan berhasil apabila hasilnya memenuhi tujuan instruksional khusus dari bahan tersebut.

B. Indikator Keberhasilan
       Yang menjadi petunjuk bahwa suatu proses belajar mengajar dianggap berhasil adalah hal-hal sebagai berikut:
1. Daya serap terhadap bahan pengajaran yang diajarkan mencapai prestasi tinggi, baik secara individual maupun kelompok.
2. Perilaku yang digariskan dalam tujuan pengajaran/instruksional khusus (TIK) telah dicapai oleh siswa, baik secara individual maupun kelompok.

       Namun demikian, indikator yang-banyak dipakai sebagai tolok ukur keberhasilan adalah daya serap.

C. Penilaian Keberhasilan
       Untuk mengukur dan mengevaluasi tingkat keberhasilan belajar tersebut dapat dilakukan melalui tes prestasi belajar. Berdasarkan tujuan dan ruang Iingkupnya, tes prestasi belajar dapat digolongkan ke dalam jenis penilaian sebagai berikut:

1. Tes Formatif
       Penilaian ini digunakan untuk mengukur satu atau beberapa pokok bahasan tertentu dan bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang daya serap siswa terhadap pokok bahasan tersebut. Hasil tes ini dimanfaatkan untuk memperbaiki proses belajar mengajar bahan tertentu dalam waktu tertentu.


2. Tes Subsumatif
       Tes ini meliputi sejumlah bahan pengajaran tertentu yang telah diajarkan dalam waktu tertentu. Tujuannya adalah untuk memperoJeh gambaran tentang daya serap siswa untuk meningkatkan tingkat prestasi belajar siswa .Hasil tes subsumatif ini dimanfaatkan untuk memperbaiki proses belajar mengajar dan diperhitungkan daJam menentukan nilai rapor.

3. Tes Sumatif
       Tes ini diadakan untuk mengukur daya serap siswa terhadap bahan pokok-pokok bahasan yang telah diajarkan selama satu semester, satu atau dua tahun pelajaran. Tujuannya adalah untuk menetapkan tingkat atau tarafkeberhasilan belajar siswa dalam suatu periode belajar tertentu. Hasil dari tes sumatif ini dimanfaatkan untuk kenaikan kelas, menyusun peringkat (ranking) atau sebagai ukuran mutu sekolah.
     
       Dalam praktik penilaian di madrasah aliyah, ulangan yang lazim dilaksanakan itu dapat dianggap sebagai tes subsumatif, sebab ruang lingkup dan tujuan ulangan tersebut sama dengan tes subsumatif. Bahkan di beberapa madrasah (sekolah) ada tes fonnatif. Namun demikian, hasil tes ataupun ulangan tersebut pada dasarnya bertujuan memberikan gambaran tentang keberhasilan proses belajar mengajar. Keberhasilan itu dilihat dari segi keberhasilan proses dan keberhasilan produk.
     
D. Tingkat Keberhasilan
     
       Setiap proses belajar mengajar selalu menghasilkan hasil belajar. Masalah yang dihadapi adalah sampai di tingkat mana prestasi (hasil) belajar yang telah dicapai. Sehubungan dengan hal inilah keberhasilan proses mengajar itu dibagi atas beberapa tingkatan atau taraf. Tingkatan keberhasilan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Istimewa/ maksimal: Apabila seluruh bahan pelajaran yang diajarkan itu dapat dikuasai oleh siswa
2. Baik sekali/ optimal: Apabila sebagian besar (76% s.d. 99%) bahan pelajaran yang diajarkan dapat dikuasai olehsiswa.
3. Baik/minimal : Apabila bahan pelajaran yang diajarkan hanya 60% s.d. 75% saja dikuasai oleh siswa.
4. Kurang : Apabila bahan pelajaran yang diajarkan kurang dari 60% dikuasai oleh siswa.

       Dengan melihat data yang terdapat dalam format daya serap siswa dalam pelajaran dan persentase keberhasilan siswa dalam mencapai TIK terse but, dapatlah diketahui keberhasilan proses belajar mengajar yang telah dilakukan siswa dan guru.

E. Program Perbaikan
       Taraf atau tingkatan keberhasilan proses belajar mengajar dapat dimanfaatkan untuk berbagai upaya. Salah satunya adalah sehubungan dengan kelangsungan proses belajar mengajar itu sendiri yang antara lain adalah: Apakah proses belajar mengajar berikut pokok bahasan baru, mengulang seluruh pokok bahasan yang baru saja diajarkan, atau mengulang sebagian pokok bahasan yang baru saja diajarkan, atau bagaimana?

       Jawaban terhadap pertanyaan terse but hendaknya didasarkan pada taraf atau tingkat keberhasilan proses belajar mengajar yang baru saja dilaksanakan.
1. Apabila 75% dari jumlah siswa yang mengikuti proses belajar mengajar atau mencapai tarafkeberhasilan minimal, optimal, atau bahkan maksimal, maka proses belajar mengajar berikutnya dapat membahas pokok bahasan yang baru.
2. Apabila 75% atau lebih dari jumlah siswa yang mengikuti proses belajar mengajar mencapai taraf keberhasilan kurang (di bawah taraf minimal), maka proses belajar mengajar berikutnya hendaknya bersifat perbaikan (remedial).

       Pengukuran tentang taraf atau tingkatan keberhasilan proses belajar mengajar ini temyata berperan penting. Karena itu, pengukurannya harus betul-betul shahih (valid), andal (reliabel), dan lugas (objective). Hal ini mungkin tercapai bila alat ukurannya disusun berdasarkan kaidah, aturan, hukum atau ketentuan penyusunan butir tes.

       Pengajaran perbaikan biasanya mengandung kegiatan-kegiatan sebagai berikut:
a) Mengulang pokok bahasan seluruhnya.
b) Mengulang bagian dari pokok bahasan yang hendak dikuasai.
c) Memecahkan masalah atau menyelesaikan soal-soal bersama-sama. d. Memberikan tugas-tugas khusus.

F. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan

       Jika ada guru yang mengatakan bahwa dia tidak ingin berhasil dalam mengajar, adalah ungkapan seorang guru yang sudah putus asa dan jauh dari kepribadian seorang guru. Mustahil setiap guru tidak ingin berhasil dalam mengajar. Apalagi jika guru itu hadir ke dalam dunia pendidikan berdasarkan tuntutan hati nurani. Panggilan jiwanya pasti merintih atas kegagalan mendidik dan membina anak didiknya.

       Betapa tingginya nilai suatu keberhasilan, sampai-sampai seorang guru berusaha sekuat tenaga dan pikiran mempersiapkan program pengajarannya dengan baik dan sistematik. Namun terkadang, keberhasilan yang dicita-citakan, tetapi kegagalan yang ditemui; disebabkan oleh berbagai faktor sebagai penghambatnya. Sebaliknya, jika keberhasilan itu menjadi kenyataan, maka berbagai faktor itu juga sebagai pendukungnya. Berbagai faktor dimaksud adalah tujuan, guru, anak didik, kegiatan pengajaran, alat evaluasi, bahan evaluasi, dan suasana evaluasi. Berbagai faktor tersebut akan dijelaskan satu per satu sebagai berikut:

1. Tujuan
       Tujuan adalah pedoman sekaligus sebagai sasaran yang akan dicapai dalam kegiatan belajar mengajar. Kepastian dari perjalanan proses belajar mengajar berpangkal tolak dari jelas tidaknya perumusan tujuan pengajaran. Tercapainya tujuan sama halnya keberhasilan pengajaran.

       Sedikit banyaknya perumusan tujuan akan mempengaruhi kegiatan pengajaran yang dilakukan oleh guru, dan secara langsung guru mempengaruhi kegiatan belajar anak didik. Guru dengan sengaja menciptakan lingkungan belajar guna mencapai tujuan. Jika kegiatan belajar anak didik dan kegiatan mengajar guru bertentangan, dengan sendirinya tujuan pengajaran pun gaga I untuk dicapai.

       Karena sebagai pedoman sekaligus sebagai sasaran yang akan dicapai dalam setiap kali kegiatan belajar mengajar, maka guru selalu diwajibkan merumuskan tujuan pembelajarannya. Guru hanya merumuskan Tujuan Pembelajaran Khusus (TPK), karena Tujuan Pembelajaran Umum (TPU) sudah tersedia di dalam GBPP. Inilah langkah pertama yang harus guru lakukan dalam menyusun rencana pengajaran.
     
       Tujuan Pembelajaran Khusus ini harus dirumuskan secara operasional dengan memenuhi syarat-syarat tertentu, yaitu:.
a) Secara spesifik menyatakan perilaku yang akan dicapai.
b) Membatasi dalam keadaan mana perubahan perilaku diharapkan dapat terjadi (kondisi perubahan perilaku).
c) Secara spesifik menyatakan kriteria perubahan perilaku dalam arti menggambarkan standar minimal perilaku yang dapat diterima sebagai hasil yang dicapai.
     
       Tujuan Pembelajaran Khusus (TPK) adalah wakil dari Tujuan Pembelajaran Umum (TPU). Maka perbuatanTPK harus berpedoman pada TPU. Agar TPK dapat mewakili terhadap TPU perlu dipikirkan beberapa petunjuk (indikator) suatu TPU. lndikator suatu TPU itu banyak, namun dalam hal ini hendaknya yang dipilih yang betul-betul penting sehingga dapat mewakili (representatif) TPU. Berdasarkan indikator terpilih tersebut itulah dirumuskan TPK. Lebih jelas lihat dan perhatikan bagan berikut ini :

     
       Berdasarkan pada indikator terpilih tersebut di atas itulah dapat dirumuskan sejumlah TPK dari TPU yang bersangkutan.
     
       Contoh rumusan TPK berdasarkan ciri-ciri dan indikator terpilih tersebut adalah: "Dengan menggunakan peta siswa dapat menunjukkan tiga daerah objek wisata di Kalimantan Selatan dengan tepat dan benar."
     
       Bila TPK tersebut dianalisis, dapatlah diketahui unsur-unsur berikut:
1. Audience : Siswa
2. Behavior : Dapat menunjukkan tiga daerah objek wisata di Kalimantan Selatan.
3. Condition : Dengan menggunakan peta.
4. Degree : Dengan tepat dan benar.

      Perumusan TPK yang bermacam-macam akan menghasilkan hasil belajar atau perubahan perilaku anak yang bermacam-macam pula. Itu berarti keberhasilan proses belajar mengajar bervariasi juga. Perilaku yang mana yang hendak dihasilkan, menghendaki perumusan TPK yang sesuai dengan perilaku yang hendak dihasilkan. Bila perilaku yang guru hendak capai adalah agar anak dapat membaca, maka perumusan TPK­ nya harus mendukung tercapainya keterampilan membaca yang diinginkan itu. Bila perilaku yang guru hendak capai adalah agar anak dapat menu lis, maka perumusan TPK-nya harus mendukung tercapainya keterampiJan menulis yang diinginkan. Baik keterampilan membaca maupun menulis adalah perilaku (behavior) yang hendak dihasilkan dari kegiatan belajar mengajar. Bila kedua keterampilan tersebut dikuasai oleh anak, maka guru dikatakan berhasil dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar. Tentu saja keberhasilan itu diketahui setelah dilakukan tes formatif di akhir pengajaran.
   
      Akhirnya, tujuan adalah salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasiIan belajar mengajar dalam setiap kali pertemuan kelas.

2. Guru

       Guru adalah tenaga pendidik yang memberikan sejumlah ilmu pengetahuan kepada anak didik di sekolah. Guru adalah orang yang berpengalaman dalam bidang profesinya. Dengan keilmuan yang dimilikinya, dia dapat menjadikan anak didik menjadi orang yang cerdas.
     
       Setiap guru mempunyai kepribadian masing-masing sesuai dengan latar belakang kehidupan sebelum mereka menjadi guru. Kepribadian guru diakui sebagai aspek yang tidak bisa dikesampingkan dari kerangka keberhasilan belajar mengajar untuk mengantarkan anak didik menjadi orang yang berilmu pengetahuan dan berkepribadian. Dari kepribadian itulah mempengaruhi pola kepemimpinan yang guru perlihatkan ketika melaksanakan tugas mengajar di kelas.
     
       Pandangan guru terhadap anak didik akan mempengaruhi kegiatan mengajar guru di kelas. Guru yang memandang anak sebagai makhluk individual dengan segala perbedaan dan persamaannya, akan berbeda dengan guru yang memandang anak didik sebagai makhluk sosial. Perbedaan pandangan dalam memandang anak didik ini akan melahirkan pendekatan yang berbeda pula. Tentu saja, hasil proses belajar mengajarnya pun berlainan.
     
       Latar belakang pendidikan dan pengalaman mengajar adalah dua aspek yang mempengaruhi kompetensi seorang guru di bidang pendidikan dan pengajaran. Guru pemula dengan latar belakang pendidikan keguruan lebih mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan sekolah. Karena dia sudah dibekali dengan seperangkat teori sebagai pendukung pengabdiannya. Kalaupun ditemukan kesulitan hanya pada aspek-aspek tertentu. Hal itu adalah suatu hal yang wajar. Jangankan bagi guru pemula, bagi guru yang sudah berpengalaman pun tidak akan pernah dapat menghindarkan diri dari berbagai masalah di sekolah. Hanya yang membedakannya adalah tingkat kesulitan yang ditemukan. Tmgkat kesulitan yang ditemukan guru semakin hari semakin berkurang pada aspek tertentu seiring dengan bertambahnya pengalaman sebagai guru.
     
       Guru yang bukan berlatar belakang pendidikan keguruan dan ditambah tidak berpengalaman mengajar, akan banyak menemukan masalah di kelas. Terjun menjadi guru mungkin dengan tidak membawa bekal berupa teori-teori pendidikan dan keguruan. Seperti kebanyakan guru pemula jiwanya juga labil, emosinya mudah terangsang dalam bentuk keluhan dan berbagai bentuk sikap lainnya, tetapi dengan semangat dan penuh ide untuk suatu tugas:
     
       Berbagai permasalahan yang dikemukakan di depan adalah aspek­aspek yang ikut mempengaruhi keberhasilan belajar mengajar. Paling tidak, keberhasilan belajar mengajar yang dihasilkan bervariasi. Kevariasian ini dilihat dari tingkat keberhasilan anak didik menguasai bahan pelajaran yang diberikan oleh guru dalam setiap kali pertemuan kelas. Variasi hasil produk ini patokannya adalah tujuan pembelajaran yang harus dicapai oleh setiap anak didik.

3. Anak Didik

       Anak didik adalah orang yang dengan sengaja datang ke sekolah. Orang tuanyalah yang memasukkannya untuk dididik agar menjadi orang yang berilmu pengetahuan di kemudian hari. Kepercayaan orang tua anak diterima oleh guru dengan kesadaran dan penuh keikhlasan. Maka jadilah guru sebagai pengemban tanggungjawab yang diserahkan itu.

       Tanggungjawab guru tidak hanya terdapat seorang anak, tetapi dalam jumlah yang cukup banyak. Anak yang dalam jumlah yang cukup banyak itu tentu saja dari latar belakang kehidupan sosial keluarga dan masyarakat yang berlainan. Karenanya, anak-anak berkumpul di sekolah pun mempunyai karakteristik yang bermacam-macam. Kepribadian mereka ada yang pendiam, ada yang periang, ada yang suka bicara, ada yang kreatif, ada yang keras kepala, ada yang manja, dan sebagainya. Intelektual mereka juga dengan tingkat kecerdasan yang bervariasi. Biologis mereka dengan struktur atau keadaan tubuh yang tidak selalu sama. Karena itu, perbedaan anak pada aspek biologis, intelektual, dan psikologis ini mempengaruhi kegiatan belajar mengajar.

       Anak yang dengan ciri-ciri mereka masing-masing itu berkumpul di dalam kelas, dan yang mengumpulkannya tentu saja guru atau pengelola sekolah. Banyak sedikitnya jumlah anak didik di kelas akan mempengaruhi pengelolaan kelas. jumlah anak didik yang banyak di kelas, misalnya 30 sampai 45 orang, cenderung lebih sukar dikelola, karena lebih mudah terjadi konflik di antara mereka. Hal ini akan berpengaruh terhadap keberhasilan belajar mengajar. Apalagi bila anak-anak yang dikumpulkan itu sudah terbiasa kurang disiplin.

       Anak yang menyenangi pelajaran tertentu dan kurang menyenangi pelajaran yang lain adalah perilaku anak yang bermula dari sikap mereka karena minat yang berlainan. Hal ini mempengaruhi kegiatan belajar anak. Biasanya pelajaran yang disenangi, dipelajari oleh anak dengan senang hati pula. Sebaliknya, pelajaran yang kurang disenangi jarang dipelajari oleh anak, sehingga tidak heran bila isi dari pelajaran itu kurang dikuasai oleh anak. Akibatnya, hasil ulangan anak itu jelek.

       Sederetan angka yang terdapat di buku rapor adalah bukti nyata dari keberhasilan belajar mengajar. Angka-angka itu bervariasi dari angka lima sampai angka sembilan. Hal itu sebagai bukti bahwa tingkat penguasaan anak terhadap bahan pelajaran berlainan untuk setiap bidang studio Daya serap anak bermacam-macam untuk dapat menguasai setiap bahan pelajaran yang diberikan oleh guru. Karena itu, dikenallah tingkat keberhasilan yang maksimal (istimewa), optimal (baik sekali), minimal (baik), dan kurang untuk setiap bahan ..yang dikuasai oleh anak didik.

       Dengan demikian, dapat diyakini bahwa anak didik adalah unsur manusiawi yang mempengaruhi kegiatan belajar mengajar berikut hasil dari kegiatan itu, yaitu keberhasilan belajar mengajar.


4. Kegiatan Pengajaran

       Pola umum kegiatan pengajaran adalah terjadinya interaksi antara guru dengan anak didik dengan bahan sebagai perantaranya. Guru yang mengajar, anak didik yang belajar. Maka guru adalah orang yang menciptakan Iingkungan belajar bagi kepentingan belajar anak didik. Anak didik adalah orang yang digiring ke dalam lingkungan belajar yang telah diciptakan oleh guru. Gaya mengajar guru berubaha mempengaruhi gay a belajar anak didik. Tetapi di sini gaya mengajar guru lebih dominan mempengaruhi gaya belajar anak didik. Gaya-gaya mengajar, menurut Muhammad Ali (1992; 59), dapat dibedakan ke dalam empat macam. yaitu gaya mengajar klasik, gaya mengajar teknologis, gaya mengajar personalisasi, dan gaya mengajar interaksional.
     
       Dalam kegiatan belajar mengajar, pendekatan yang guru ambi I akan menghasilkan kegiatan anak didik yang bermacam-macam. Guru yang menggunakan pendekatan individual, misalnya berusaha memahami anak didik sebagai makhluk individual dengan segala persamaan dan perbedaannya. Guru yang menggunakan pendekatan kelompok berusaha memahami anak didik sebagai makhluk sosial. Dari kedua pendekatan tersebut lahirlah kegiatan belajar mengajar yang berlainan, dengan tingkat keberhasilan belajar mengajar yang tidak sama pula. Perpaduan dari kedua pendekatan itu malah akan menghasilkan hasil belajar mengajar yang lebih baik.
     
       Strategi penggunaan metode mengajar amat menentukan kualitas hasil belajar mengajar. Hasil pengajaran yang dihasilkan. dari penggunaan metode ceramah tidak sama dengan hasil pengajaran yang dihasilkan dari penggunaan metode tanyajawab atau metode diskusi. Demikian juga halnya dengan hasil pengajaran yang dihasilkan dari penggunaan metode problem solving berbeda dengan hasil pengajaran yang dihasilkan dari penggunaan metode resitasi.
     
       Jarang ditemukan guru hanya menggunakan satu metode dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar. Hal ini disebabkan rumusan tujuan yang guru buat tidak hanya satu, tetapi bisa lebih dari dua rumusan tujuan. ltu berarti menghendaki penggunaan metode mengajar harus lebih dari satu metode. Metode mengajar yang satu untuk mencapai tujuan yang satu, sementara metode mengajar yang lain untuk mencapai tujuan yang lain. Bermacam-macam penggunaan metode mengajar akan menghasilkan hasil belajar mengajar yang berlainan kualitasnya. Penggunaan metode ceramah misalnya, adalah strategi pengajaran untuk mencapai tujuan pada tingkat yang rendah. Berbeda dengan penggunaan metode problem solving. Penggunaan metode ini tentu saja untuk mencapai tujuan pengajaran pada tingkat yang tinggi. Jadi, penggunaan metode mengajar mempengaruhi tinggi rendahnya mutu keberhasilan belajar mengajar.

5. Bahan dan Alat Evaluasi

       Bahan evaluasi adalah suatu bahan yang terdapat di dalam kurikulum yang sudah dipelajari oleh anak didik guna kepentingan ulangan. Biasanya bahan pelajaran itu sudah dikemas dalam bentuk buku paket untuk dikonsumsi oleh anak didik. Setiap anak didik dan guru wajib mempunyai buku paket tersebut guna kepentingan kegiatan belajar mengajar di kelas.

       Bila tiba masa ulangan, semua bahan yang telah diprogramkan dan harus selesai dalam jangka waktu tertentu dijadikan sebagai bahan untuk pembuatan item-item soal evaluasi. Gurulah yang membuatnya dengan perencanaan yang sistematis dan dengan penggunaan alat evaluasi. Alat-alat evaluasi yang umumnya digunakan tidak hanya benar-salah (true-false) dan pilihan ganda (multiple-choice), tapijuga menjodohkan (matching), melengkapi (completion), dan essay.

       Masing-masing alat evaluasi itu mempunyai beberapa kelebihan dan kekurangan. Menyadari akan hal itu, jarang ditemukan pembuatan item-item soal yang hanya menggunakan satu alat evaluasi. Tetapi guru sudah menggabungnya lebih dari satu alat evaluasi. Benar-salah (B-S) dan pilihan ganda adalah bagian dari tes objektif. Maksudnya, objektif dalam hal pengoreksian, tapi belum tentu objektif dalam jawaban yang dilakukan oleh anak didik. Karena sifat alat ini mengharuskan anak didik memilih jawaban yang sudah disediakan dan tidak ada alternatif lain di luar dari alternatif itu, maka bila anak didik tidak dapat menjawabnya, dia cenderung melakukan tindakan spekulasi, pengambilan sikap untung-untungan ketimbang tidak berisi. Bila benar untung, bila salah tidak menjawab soal. Strategi lainnya lagi adalah anak didik melakukan kerja sama dengan teman-temannya yang kebetulan duduk berdekatan. Kerja samanya teratur rapi dan terkadang guru kurang dapat mengontrolnya. Sebab dalam melakukan kerja sama itu mereka menggunakan sandi-sandi tertentu yang hanya kelompok mereka itulah yang dapat mengetahuinya. Sandinya misalnya, dalam bentuk kode acungan jempol, gerakan tubuh, atau isyarat melalui benda yang sudah disepakati sebelum ulangan dilaksanakan, dan sebagainya.
     
       Pembuatan item soal dengan memakai alat tes objektif dapat menampung hampir semua bahan pelajaran yang sudah dipelajari oleh anak didik dalam satu semester, tapi kelemahannya terletak pada penguasaan anak didik terhadap bahan pelajaran bersifat semu, suatu penguasaan bahan pelajaran yang masih samar-samar. Jika alternatif itu tidak dicantumkan, kemungkinan besar anak didik kurang mampu memberikan jawaban yang tepat.
       Alat tes dalam bentuk essay dapat mengurangi sikap dan tindakan spekulasi pada anak didik. Sebab alat tes ini hanya dapat dijawab bila anak didik betul-betul menguasai bahan pelajaran dengan baik. Bila tidak, kemungkinan besar anak didik tidak dapat menjawabnya dengan baik dan benar. Kelemahan alat tes ini adalah dari segi pembuatan item soal tidak semua bahan pelajaran dalam satu semester dapat tertampung untuk disuguhkan kepada anak didik pada waktu ulangan. Essay memang alat tes yang tidak objektif, karena dalam penilaiannya, kalaupun ada standar penilaian, masih terpengaruh dengan selera guru. Apalagi bila tulisan anak didik tidak mudah terbaca, kejengkelan hati segera muncul dan pemberian nilai tanpa pemeriksaan pun dilakukan.
     
       Maraknya tindakan spekulatif pada anak didik barangkali salah satu faktor penyebabnya adalah teknik penilaian yang berlainan dengan rumus penilaian menurut kesepakatan para ahli. Untuk tes objektif mempunyai rumus penilaian masing-masing. Jadi, ke sanalah rujukan standar penilaian itu, bukan membuat rumus penilaian yang cenderung mendatangkan sikap dan tindakan spekulatif pada anak didik. Bahkan pembuatan soal pun harus bergerak dari yang mudah, sedang, hingga ke yang sukar, dengan proporsi tertentu. Membuat rumus penilaian sendiri tidak dilarang. Sekali lagi, tidak dilarang. Selama pembuatannya menutup jalur-jalur spekulatif pada anak didik.
     
       Berbagai permasalahan yang telah dikemukakan tersebut mempengaruhi keberhasilan belajar mengajar. Validitas dan reliabilitas data dari hasil evaluasi itulah yang mempengaruhi keberhasilan belajar mengajar. Bila alat tes itu tidak valid dan tidak reliable, maka tidak dapat dipercaya untuk mengetahui tingkat keberhasilan belajar mengajar.
     
     
6. Suasana Evaluasi
     
       Selain faktor tujuan, guru, anak didik, kegiatan pengajaran, serta bahan dan alat evaluasi, faktor suasana evaluasi juga merupakan faktor yang mempengaruhi keberhasilan belajar mengajar. Pelaksanaan evaluasi biasanya dilaksanakan di dalam kelas. Semua anak didik dibagi menurut kelas masing-masing. Kelas I, kelas II, dan kelas III dikumpulkan menurut tingkatan masing-masing. Besar kecilnya jumlah anak didik yang dikumpulkan di dalam kelas akan mempengaruhi suasana kelas. Sekaligus mempengaruhi suasana evaluasi yang dilaksanakan. Sistem silang adalah teknik lain dari kegiatan mengelompokkan anak didik dalam rangka evaluasi. Sistem ini dimaksudkan untuk mendapatkan data hasil evaluasi yang benar-benar objektif.
     
       Karena sikap mental anak didik belum semuanya siap untuk berlaku jujur, maka dihadirkanlah satu atau dua orang pengawas atau guru yang ditugaskan untuk mengawasinya. Selama pelaksanaan evaluasi, selama itu juga seorang pengawas mengamati semua sikap, gerak-gerik yang dilakukan oleh anak didik. Pengawasan yang dilakukan itu tidak hanya duduk berlama-lama di kursi, tapi dapat berjalan dari muka ke belakang sewaktu-waktu, sesuai keadaan.
     
       Sikap yang merugikan pelaksanaan evaluasi dari seorang pengawas adalah membiarkan anak didik melakukan hubungan kerja sama di antara anak didik. Pengawas seolah-olah tidak mau tau apa yang dilakukan oleh anak didik selama ulangan. Tidak peduli apakah anak didik nyontek, membuka kertas kecil yang berisi catatan yang baru diambil dari balik pakaian, atau membiarkan anak didik bertanya jawab dalam upaya mendapatkan jawaban yang benar. Lebih merugikan lagi adalah sikap pengawas yang dengan sengaja menyuruh anak didik membuka buku atau catatan untuk mengatasi ketidakberdayaan anak didik dalam menjawab item-item soal, Dengan dalih, karena koreksinya sistem silang, malu kebodohan anak didik diketahui oleh sekolah lain.
     
       Suasana evaluasi yang demikian tentu saja, disadari atau tidak, merugikan anak didik untuk bersikap jujur dengan sungguh-sungguh belajar di rumah dalam mempersiapkan diri menghadapi ulangan. Anak didik merasa diperlakukan secara tidak adil, mereka tentu kecewa, mereka sedih, mereka berontak dalam hati, mengapa harus terjadi suasana evaluasi yang kurang sedap dipandang mata itu. Di manakah penghargaan pengawas atas jerih payahnya belajar selama ini. Mungkin masih banyak lagi pertanyaan yang berkecamuk di dalam diri anak didik.
     
       Dampak di kemudian hari dari sikap pengawas yang demikian itu, adalah mengakibatkan anak didik kemungkinan besar malas belajar dan kurang memperhatikan penjelasan guru ketika belajar mengajar berlangsung, Hal inilah yang seharusnya tidak boleh terjadi pad a diri anak didik. Inilah dampak yang merugikan terhadap keberhasilan belajar mengajar.


DAFTAR PUSTAKA

Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain, Strategi Belajar Mengajar. PT Rineka Cipta, Jakarta, Cet.IV. 2010