The Red Bird of Paradise


An Indonesian endangered species, the Red Bird of Paradise is distributed to lowland rainforests of Waigeo and Batanta islands of West Papua. This species shares its home with another bird of paradise, the Wilson's Bird of Paradise. Hybridization between these two species are expected but not recorded yet.

The Bird of Paradise, Paradisaea rubra, is large, up to 33cm long, brown and yellow bird with a dark brown iris, grey legs and yellow bill. The male has an emerald green face, a pair of elongated black corkscrew-shaped tail wires, dark green feather pompoms above each eye and a train of glossy crimson red plumes with whitish tips at either side of the breast.

The male measures up to 72 cm long, including the ornamental red plumes that require at least six years to fully attain. The female resembles the male but is smaller in size, with a dark brown face and has no ornamental red plumes. The diet consists mainly of fruits, berries and arthropons.

The Graduation Standard


The implementation of the new graduation standard for High-School Students has evoked people to bring different responses. Some people's ideas are for some others against the rule.

Some people agree with the rule because it indicates students' mastery of the whole material or the competence they have managed to have over the past three years. The result of the final exam is also significant for students' future study in the higher level. In addition, we are far left behind by our neighboring countries that have implemented a higher graduation grade standard. If the standard is omitted, then student will get left behind even further by those students from neighboring countries students.

However, some other people believe that imposing a high standard will not be effective. The results of the exams have proven to be unreliable. How can you asses the students' competence only in a couple of days. A smart student for example, may get a low grade just because he is sick during the exam. On the other hand, an idle student may achieve the standard due to luck. There should then be an alternative way to the national exam.

Despite different points of view, the government's relating party are intensely working on this matter in the hope of getting a better solution upon improving the High-School graduates' quality.

Contoh Sertifikat Perlombaan Peringatan Nuzul Quran

Beberapa waktu lalu tepatnya di bulan Agustus 2014 M - Ramadhan 1435 H, saya dan teman-teman angkatan 2011 mendapatkan tugas besar dari kampus UIN SUSKA RIAU, yaitu mengabdi kepada masyarakat atau KKN (Kuliah Kerja Nyata), bukan KKN dalam istilah pemerintahan, hehe.

oke dari pada ngegalau aja, akhirnya saya share ini dech buat teman-teman
Contoh Sertifikat Perlombaan Nuzul Quran.
memang desainnya di office aja, karena kami sengaja untuk tidak buat yang full color, disamping memang karena acaranya kecil-kecilan dan kesibukan lain.
tapi kami yakin bermanfaat buat teman-teman yang sulit merangkai kata-kata.

langsung aja ya download filenya dibawah ini.

word : Sertifikat Perlombaan Nuzul Quran.docx
pdf : Sertifikat Perlombaan Nuzul Quran.pdf

Makalah - 'Ulumul Quran

Berikut ini adalah makalah tentang 'Ulumul Quran
untuk mendapatkan filenya silakan didownload :
word : Makalah - 'Ulumul Quran.doc
pdf : Makalah - 'Ulumul Quran.pdf



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar belakang

      Pada masa Rasulullah masih hidup, zaman khulafaur rasyidin dan sebagian besar zaman Umayyah sehingga akhir abad pertama hijrah, hadits-hadits nabi tersebar melalui mulut kemulut (lisan). Ketika itu umat Islam belum mempunyai inisiatif untuk menghimpun hadits-hadits nabi yang bertebaran. Mereka merasa cukup dengan menyimpan dalam hafalan yang terkenal kuat. Dan memang diakui oleh sejarah bahwa kekuatan hafalan para sahabat dan para tabi'in benar-benar sulit tandingannya.
      Hadits nabi tersebar ke berbagai wilayah yang luas dibawa oleh para sahabat dan tabi'in ke seluruh penjuru dunia. Para sahabat pun mulai berkurang jumlahnya karena meninggal dunia. Sementara itu, usaha pemalsuan terhadap hadits-hadits nabi makin bertambah banyak, baik yang dibuat oleh orang-orang zindik dan musuh-musuh Islam maupun yang datang dari orang Islam sendiri.
      Yang dimaksud dengan pemalsuan hadits ialah menyandarkan sesuatu yang bukan dari Nabi SAW kemudian dikatakan dari Nabi SAW. Berbagai motifasi yang dilakukan mereka dalam hal ini. Ada kalanya kepentingan politik seperti yang dilakukan sekte-sekte tertentu setelah adanya konflik fisik (fitnah) antara pro-Ali dan pro-Muawiyyah, karena fanatisme golongan, madzhab, ekonomi, perdagangan dan lain sebagainya pada masa berikutnya atau unsur kejujuran dan daya ingat para perawi hadits yang berbeda. Oleh karena itu, para ulama bangkit mengadakan riset hadits-hadits yang beredar dan meletakkan dasar kaidah-kaidah yang ketat bagi seorang yang meriwayatkan hadits yang nantinya ilmu itu disebut Ilmu Hadits.

B.     RUMUSAN MASALAH

1.  Pengertian Ulumul Hadits
2. Macam-Macam Ilmu Hadits
3. Cabang-Cabang Ilmu Hadits


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Ulumul Hadits

      Ulumul Hadits adalah istilah ilmu hadits di dalam tradisi Ulama Hadits (arabnya : 'Ulum al-Hadits). 'Ulum al-Hadits terdiri atas dua kata, yaitu 'Ulum dan al-Hadits. Kata 'Ulum dalam bahasa arab adalah bentuk jamak dari 'ilm, jadi berati "ilmu-ilmu"; sedangkan al-Hadits di kalangan Ulama Hadits berarti "segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW dari perkataan, perbuatan, taqrir atau sifat. Dengan demikian Ulumul Hadits adalah ilmu-ilmu yang membahas atau berkaitan dengan hadits Nabi SAW.
Menurut Ulama Mutaqaddimin Ilmu Hadits adalah:
Artinya: "Ilmu pengetahuan yang membicarakan tentang cara-cara persambungan hadits sampai kepada Rasul SAW dari segala hal ihwal para perawinya, kedhabitan, keadilan, dan dari bersambung tidaknya sanad dan sebagainya."
      Pembukaan hadits di sekitar abad ke dua hijriyah yang dilakukan para pemuka hadits dalam rangka menghimpun dan membukukannya semata-mata di dorong oleh kemauan yang kuat agar hadits nabi itu tidak hilang begitu saja bersama wafatnya para penghafalnya. Mereka menghimpun dan membukukan semua hadits yang mereka dapatkan beserta riwayat dan sanadnya masing-masing tanpa mengadakan penelitian terlebih dahulu terhadap pembawanya (para rawi) begitu pula terhadap keadaan riwayat dan marwinya. Barulah di sekitar pertengahan abad ke-3 Hijriyah sebagian Muhadditsin merintis ilmu ini dalam garis-garis besarnya saja dan masih berserakan dalam beberapa mushafnya. Diantara mereka adalah Ali bin Almadani (238 H), Imam Al-Bukhari, Imam Muslim, Imam At-Turmudzi dan lain-lain.
      Adapun perintis pertama yang menyusun ilmu ini secara fak(spealis) dalam satu kitab khusus ialah Al-Qandi Abu Muhammad Ar-Ramahurmuzy(360 H) yang di beri nama dengan Al-Muhaddisul Fasil Bainar Wari Was Sami'. Kemudian bangkitlah Al-Hakim Abu Abdilah an-Naisaburi (321-405 H) menyusun kitabnya yang bernama Makrifatu Ulumil Hadits. Usaha beliau ini diikuti oleh Abu Nadim al-Asfahani (336-430 H) yang menyusun kitab kaidah periwayatan hadits yang diberi nama Al-Kifayah dan Al-Jam'u Liadabis Syaikhi Was Sami' yang berisi tentang tata cara meriwayatkan hadits.

B.     Macam-Macam Ilmu Hadits

      Ilmu hadits yakni ilmu yang berpautan dengan hadits. Apabila dilihat kepada garis besarnya, Ilmu Hadits terbagi menjadi dua macam. Pertama, Ilmu Hadits Riwayat (riwayah). Kedua, Ilmu Hadits Dirayat (dirayah).
1.      Ilmu Hadits Riwayah
Ilmu Hadits Riwayah ialah.
Artinya: "Ilmu yang menukilkan segala apa yang disandarkan kepada Nabi SAW baik  perkataan, perbuatan, taqrir, ataupun sifat tubuh anggota ataupun sifat Perangai."
Ibnu Akfani berkata:
Artinya: "Ilmu hadits yang khusus dengan riwayat ialah: Ilmu yang melengkapi penukilan perkataan-perkataan Nabi SAW perbuatan-perbuatannya, periwayat-periwayat hadits, pengdlabitannnya  dan penguraian lafadz-lafadznya."
Kebanyakan ulama menta'rifatkan ilmu hadits riwayah sebagaimana:
Artinya: "Ilmu hadits riwayah adalah suatu ilmu untuk mengetahui sabda-sabda nabi, taqrir-taqrir nabi dan sifat-sifat nabi."
      Maudhu'nya (obyeknya) adalah pribadi Nabi SAW yakni perkataan, perbuatan, taqrir dan sifat Beliau, karena hal-hal inilah yang dibahas didalamnya. Adapun faedah mempelajari ilmu hadits riwayah adalah untuk menghindari adanya penukilan yang salah dari sumbernya yang pertama yaitu Nabi Muhammad SAW.
2.      Ilmu Hadits Dirayah
Ilmu Hadits Dirayah biasa juga disebut sebagai Ilmu Musthalah al-Hadits, Ilmu Ushul al-Hadits, Ulum al-Hadits, dan Qawa'id al-Hadits at-Tirmidzi mendefinisikan ilmu ini dengan
Artinya: "Undang-undang atau kaidah-kaidah untuk mengetahui keadaan sanad dan matan, cara menerima dan meriwayatkan sifat-sifat perawi dan lain-lain."
Ibnu al-Akfani mendefinisikan ilmu ini  sebagai berikut
Artinya: "Ilmu pengetahuan untuk mengetahui hakikat periwayatan, syarat-ayarat, macam-macam dan hukum-hukumnya serta untuk mengetahui keadaan para perawi baik syarat-syaratnya, macam-macam hadits yang diriwayatkan dan segala yang berkaitan dengannya."
Kebanyakan ulama menta'rifkan Ilmu Hadits Dirayah sebagai berikut:
Artinya: "Ilmu Hadits Dirayah adalah ilmu untuk mengetahui keadaan sanad dan matan dari jurusan diterima atau ditolak dan yang bersangkutpaut dengan itu."
      Maudhu'nya (objeknya) adalah mengetahui segala yang berpautan dengan pribadi Nabi SAW, agar kita dapat mengetahuinya dan memperoleh kemenangan dunia akhirat. Dengan mempelajari Hadits Dirayah ini, banyak sekali faedah yang diperoleh antara lain:
1.      Mengetahui pertumbuhan dan perkembangan hadits dan ilmu hadits dari masa ke masa sejak masa Rasul SAW sampai sekarang.
2.      Dapat mengetahui tokoh-tokoh serta usaha-usaha yang telah mereka lakukan dalam  mengumpulkan, memelihara dan meriwayatkan hadits.
3.      Mengetahui kaidah-kaidah yang dipergunakan oleh para ulama dalam mengklasifikasikan hadits lebih lanjut.
4.      Dapat mengetahui istilah-istilah, nilai-nilai dan kriteria-kriteria hadits sebagai pedoman dalam beristimbat.
5.      Dari beberapa faedah diatas apabila diambil intisarinya, maka faedah mempelajari Ilmu Hadits Dirayah adalah untuk mengetahui kualitas sebuah hadits, apakah ia maqbul (diterima) dan mardud (ditolak), baik dilihat dari sudut sanad maupun matannya.
6.      Dengan melihat uraian Ilmu Hadits Riwayah dan Ilmu Hadits Dirayah diatas, tergambar adanya kaitan yang sangat erat antara yang satu dengan yang lainnya. Hal ini karena setiap ada periwayatan hadits tentu ada kaidah-kaidah yang dipakai dan diperlukan baik dalam penerimaannya maupun penyamapaiannya kepada pihak lain. Sejalan dengan perjalanan Ilmu Hadits Riwayah, Ilmu Hadits Dirayah juga terus berkembang menuju kesempurnaanya, sesuai dengan kebutuhan yang berkaitan langsung dengan perjalanan Hadits Riwayah. Oleh karena itu, tidak mungkin Ilmu Hadits Riwayah berdiri tanpa Ilmu Hadits Dirayah, begitu juga sebaliknya.

C.    Cabang-Cabang Ilmu Hadits
      Pada perkembangan selanjutnya, para ulama menyusun dan merumuskan cabang-cabang ilmu hadis. Karena hal ini dirasa perlu untuk mengetahui sejauh mana suatu hadis dapat dikatakan maqbul (diterima) atau mardud (ditolak). Sehingga muncullah berbagai macam cabang ilmu hadis. Sebelum itu yang lebih dahulu muncul adalah ilmu Hadist riwayah dan ilmu hadist dirayah, dan setelah itu barulah cabang cabang ilmu hadist  seperti : Ilmu Rijal Al-Hadist, Ilmu Al-Jarh Wa Al-Ta'dil, Ilmu Tarikh Al-Ruwah, Ilmu 'Ilal Al-Hadist, Ilmu Al-Nasikh Wal Al-Mansukh, Ilmu Asbab Wurud , Gharib Al-Hadits, Ilmu At-Tashif Wa At-Tahrif dan Ilmu Mukhtalif Al-Hadist. Secara singkat cabang cabang ilmu hadist diatas akan diuraikan sebagai berikut :
1.      Ilmu dan Kaidah Hadis Tentang Rawi dan Sanad
a.       Ilmu Rijal Al-Hadist
      Munzier suparta (2006:30) menyatakan Ilmu Rijal Al-Hadist adalah ilmu untuk mengetahui para perawi haidst dalam kapasitasnya sebagai  perawi hadist.
      Muhammad Ahmad dan M. Mudzakir (1998:57) Ilmu Rijal Al-Hadist adalah ilmu yang membahas tentang para perawi hadist, baik dari sahabat, tabi'in, maupun dari angkatan sesudahnya.
      Sedangkan muhadditsin, sebagaimana dikutip dalam buku Endang Soetari (1994:233) mentarifkan Ilmu Rijal Al-Hadist meliputi Ilmu Thabaqah dan Ilmu Tarikh Ar-Ruwah. Ilmu Thabaqah adalah ilmu yang membahas tentang kelompok orang orang yang berserikat dalam satu alat pengikat yang sama. Sedangkan Ilmu Tarikh Ar-Ruwah adalah ilmu yang membahas tentang biografi para perawi hadist. Adapun materi dari ilmu ini adalah :

a) Konsep tentang rawi dan thabaqah
b) Rincian thabaqah rawi
c) Biografi yang telah terbagi pada tiap thabaqah

      Dari berbagai definisi diatas, pada dasarnya Ilmu Rijal Al-Hadist adalah ilmu yang membahas tentang para perawi hadist dalam memelihara dan menyampaikannya kepada orang lain dengan menyebutkan sumber-sumber pemberitaannya.

      Kedudukan ilmu ini sangat penting dalam lapangan ilmu hadist, karena, sebagaimana diketahui bahwa objek kajian hadist, pada dasarnya ada dua hal yaitu matan dan sanad. Munzier Suparta (2006:30) menyatakan Ilmu Rijal Al-Hadist ini lahir bersama sama dengan periwayatan hadist dalam islam dan mengambil posisi khusus untuk mempelajari persolan-persoalan disekitar sanad.
      Dengan ilmu ini kita dapat mengetahui keadaan para perawi yang menerima hadist dari Rasullah SAW, dan keadaan para perawi yang menerima hadist dari para sahabat dan seterusnya. Dan dengan ilmu ini kita juga dapat mengetahui sejarah ringkas para perawi hadist, mazhab yang dipegang oleh para perawi, dan keadaan para perawi dalam menerima hadist.
      Kitab kitab yang disusun dalam ilmu ini beraneka ragam. Seperti halnya dikutip dalam buku Muhammad Ahmad dan M. Mudzakir (1998:58) ada yang hanya  menerangkan riwayat-riwayat  ringkas para sahabat saja. Ada yang menerangkan riwayat-riwayat umum para perawi. Ada yang menerangkan para perawi yang dipercaya saja. Ada yang menerangkan riwayat para perawi yang lemah-lemah, atau para mudalis, atau para pemuat hadist maudu. Dan ada yang menerangkan sebab sebab dianggap cacat dan sebab sebab dipandang adil dengan menyebut kata kata yang dipahami untuk itu serta martabat perkataan. Seperti pada abad ke tujuh hijrah Izzudin Ibnu Atsir (630 H) mengumpulkan kitab-kitab yang telah disusun sebelum masanya dalam sebuah kitab besar yang bernama Usdul Gabah. Pada abad kesembilan hijrah, Al Hafidh Ibnu Hajar Al Asqolani menyusun kitabnya yang terkenal denagn nama Al Ishabah. Dalam kitab ini dikumpulkan al istiah dengan usdul gabah dan ditambah dengan yang tidak trdapat dalam kitab kitab tersebut. Kemudian kitab ini diringkas oleh As Suyuti dalam kitab Ainul Ishobah. Al bukhori dan Imam Muslim juga telah menulis kitab yang menerangkan nama-nama sahabat yang hanya meriwayatkan suatu hadist saja yang bernama Wuzdan.    
b.      Ilmu Jarh Wa At-Ta'dil
      Ilmu Al-Jarh Wa At-Ta'dil, pada hakikatnya merupakan satu bagian dari Ilmu Rijal Al-Hadist, akan tetapi, karena bagian ini dipandang penting, maka ilmu ini dijadikan sebagai ilmu yang yang berdiri sendiri. Adapun beberapa pengertian dari Ilmu Al-Jarh Wa At-Ta'dil adalah sebagai berikut :
      Munzier Suparta (2006:31) menyatakan Ilmu Al-jarh yang secara bahasa berarti luka, cela, atau cacat, adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari kecacatan para perawi, seperti pada keadilan dan kedhabitannya. Para ahli hadist mendefinisikan Al-Jarh dengan kecacatan pada para perawi hadist, disebabkan oleh suatu yang dapat merusak keadilan atau kedhabitan perawi. Sedangkan At-Ta'dil yang secara bahasa berarti menyamakan dan menurut istilah berarti lawan dari Al-Jarh yaitu pembersihan atau pensucian perawi dan ketetapan bahwa dia adil atau dhabit. Sementara ulama lain mendefinisikan Al-Jarh dan At-Ta'dil dalam satu definisi yaitu ilmu yang membahas tentang para perawi dari segi yang dapat menunjukan keadaan mereka, baik yang dapat mencacatkan atau membersihkan mereka dengan ungkapan atau lapadz-lapadz tertentu.
      Dari beberapa definisi diatas dapat diketahui bahwa ilmu ini digunakan untuk menetapkan apakah periwayatan seorang perawi itu dapat diterima atau ditolak sama sekali. Apabila seorang perawi "dijarh" oleh para ahli sebagai rawi yang cacat, maka periwayatannya harus ditolak, dan sebaliknya apabila dipuji, maka hadistnya dapat diterima selama syarat-syarat yang lain dipenuhi.
      Munzier Suparta (2006:32) menyatakan kecacatan rawi itu bisa diketahui melalui perbuatan-perbuatan yang dilakukannya, biasanya dikatagorikan kedalam lingkup perbuatan : Bid'ah yakni melakukan perbuatan tercela atau diluar ketentuan syariah; Mukhalafah, yakni berbeda dengan periwayatan dari rawi yang lebih tsiqah; Qhalath, yakni banyak melakukan kekeliruan dalam meriwayatkan hadist; Jahalat al-hal, yakni tidak diketahui identitasnya secara jelas dan lengkap; dan Da'wat Al-Inqitha, yakni diduga penyandaran (sanad)-nya tidak bersambung.
      Adapun orang-orang yang melakukan Tajrih dan Ta'dil harus memenuhi syarat sebagai berikut : Berilmu pengetahuan, Taqwa Wara, Jujur, Menjauhi sifat fanatik golongan, dan Mengetahui ruang lingkup Ilmu Al-Jarh Wa At-Ta'dil.
      Kitab-kitab yang disusun dalam ilmu ini berbeda beda, sebagian ada yang kecil, hanya terdiri dari satu jilid dan hanya mencakup beberapa ratus orang rawi. Sebagian yang lain menyusunnya menjadi beberapa jilid besar yang mencakup antara sepuluh sampai dua puluh ribu Rijalus Sanad. Disamping itu sistematis  pembahasannya juga berbeda beda. Ada sebagian yang menulis rawi-rawi yang tsiqah saja dan ada juga yang mengumpulkan keduanya. Fathur Rahman (1987:279) menyebutkan kitab-kitab itu, antara lain :
1.      Ma'rifatur-rijal, karya Yahya Ibnu Ma'in.
2.      Ad-Dluafa, karya Imam Muhammad Bin Ismail Al Bukhari (194 - 252 H)
3.      At-tsiqat, karya Abu Hatim Bin Hibban Al-Busty (304 H)
4.      Al-jarhu wat tadil, karya Abdur Rahman Bin Abi Hatim Ar Razy (240 - 326 H)
5.      Mizanul itidal, karya Imam Syamsudin Muhammad Adz Dzahaby (673 - 748 H)
6.      Lisanul mizan, karya Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalani (773 - 852 H)

c.       Ilmu Tarikh Ar-Ruwah
      Ilmu Tarikh Ar-Ruwah merupakan masih bagian dari Ilmu Rijal Al-hadist. Ilmu ini mengkhususkan pembahasannya secara mendalam pada sudut kesejarahan dari orang-orang yang terlibat dalam periwayatan.
      Munzier Suparta (2006:34) menyatakan Ilmu Tarikh Ar-ruwah adalah ilmu untuk mengetahui para perawi hadist yang berkaitan dengan usaha periwayatn mereka terhadap hadist. Mengenai hubungan antara ilmu ini dengan ilmu Thabaqah Ar-Ruwah, sebagaimana dikutip masih  dari buku yang sama, bahwa terdapat berbagai perbedaan pendapat dikalangan para ulama. Ada ulama yang membedakan secara khusus, tetapi ada juga yang mempersamakannya. Menurut As-Suyuti, antara Ilmu Thabaqat Ar-ruwah dengan Ilmu Tarikh Ar-ruwah adalah sama saja dengan antara umum dan khusus, keduanya bersatu dalam pengertian yang berkaitan dengan para perawi, tetapi Ilmu Tarikh Ar-Ruwah menyendiri dalam hubungannya dengan kejadian-kejadian yang baru. Menurut Al-Shakawi, bahwa ulama mutakhirin membedakan antara kedua disiplin ilmu tersebut. Menurut mereka bahwa Ilmu Tarikh Ar-Ruwah, melalui eksistensinya memperhatikan hal ihwal perawi, dan melalui sifatnya memperhatikan kelahiran dan wafatnya mereka.
      Jadi dengan ilmu ini dapat diketahui keadaan dan identitas para perawi, seperti kelahirannya, wafatnya, guru-gurunya, masa/waktu mereka mendengar hadist dari gurunya, siapa yang meriwayatkan hadist darinya, tempat tinggal mereka, tempat mereka mengadakan lawatan, dan lain sebagainya. Dan ilmu ini juga merupakan senjata yang ampuh untuk mengetahui keadaan rawi yang sebenarnya, terutama untuk membongkar kebohongan para perawi.      
2.      Ilmu Kaidah Tentang Matan
a.       Gharib Al-Hadits
Menurut Endang Soetari (2005:210), Ilmu Gharib al-Hadist adalah:
"Ilmu yang menerangkan makna kalimat yang terdapat dalam matan Hadist yang sukar diketahui maknanyadan yang kurang terpakai oleh umum'.
Yang dibahas oleh ilmu ini adalah lafadh yang musykil dan susunan kalimat yang sukar dipahami, tujuannya untuk menghindarkan penafsiran menduga-duga. Pada masa tabi'in dan abad pertama hijriyah, bahasa arab yang tinggi mulai tidak dipahami oleh umum, hanya diketahui secara terbatas. Maka orang yang ahli mengumpulkan kata-kata yang tidak dapat dipahami oleh umumtersebut dan kata-kata yang kurang terpakai dalam pergaulan sehari-hari. Endang Soetari juga menyebutkan beberapa upaya para ulama Muhaditsin untuk menafsirkan keghariban matan Hadits, antara lain:
1.   Mencari dan menelaah hadits yang sanadnya berlainan dengan yang bermatan gharib
2.   Memperhatikan penjelasan dari sahabat yang meriwayatkan Hadits atau shahabat lain yang tidak meriwayatkan,
3.   Memperhatikan penjelasan dari rawi selain shahabat.
      Di sisi lain, dalam buku Ilmu Hadis karya Mudasir (2005:57), menurut Ibnu Shalah, yang dimaksud dengan Gharib al-hadis ialah: "Ilmu untuk mengetahui dan menerangkan makna yang terdapat pada lafal-lafal hadis yang jauh dan sulit dipahami karena (lafal-lafal tersebu) jarang digunakan." Mudasir menyatakan bahwa bahwa ilmu ini muncul atas usaha para ulama setelah Rasulullah SAW. Wafat ketika banyaknya bangsa-bangsa yang bukan arab memeluk Islam serta banyaknya orang yang kurang memahami istilah atau lafal-lafal tertentu yang gharib atau sukar dipahami.
      Imam Al-Nawawi menyebutkan dalam bukunya (2001:116) bahwa Hadis gharib adalah Hadis yang diriwayatkan dari al-Zuhri atau rawi yang selevel dengan al-Zuhri dimana Hadis-hadisnya itu dikumpulkan oleh seorang rawi. Hadis gharib terbagi ke dalam dua begian, shahih dan tidak shahih. Dalam kategori tidak shahih, hadis gharib bisa berupa Hadis hasan juga bisa dla'if. Namun umumnya Hadis gharib tidak shahih. Hdis ini juga terbagi ke dalam dua klasifikasi berdasarkan pada pada kualitas sanad dn matan Hadis tersebut. Pertama , Hadis gharib baik dari segi matannya maupun sanadnya. Ini seperti pada Hadis yang hanya diriwayatkan oleh seorang rawi. Kedua, Hadis yang kegharibannya terdapat pada sanadnya saja, seperti pada Hadis yang matannya diriwayatkan oleh sekelompok sahabat, di mana salah seorang di antara mereka meriwayatkannya secara tunggal Hadis itu. Dalam kaitan ini, Ai-Titmidzi biasanya menggunakan teknis gharibun min badza al-wajh (gharib berdasar tinjauan ini. Namun sampai ssat ini tidak ditemukan Hadis gharib dalam segi matannya saja, tapi sanadnya tidak gharib. Kecuali jika ada Hadis tunggal yang populer di mana Hadist itu diriwayatkan oleh banyak rawi, maka hadis itu disebut Hadis gharib yang masyhur dan juga gharib secara matannya saja tidak beserta sanadnya, jika dilihat dari salah satu dari dua jalurnya, seperti Hadis Innama al-a'malu bi al-niyyat.
      Definisi lain diungkapkan oleh Wahyudin Darmalaksana (2004:39), bahwa Hadits Gharib yaitu hadits yang terdapat penyendirian rawi dalam sanadnya di mana saja penyendirian dalam sanad itu terjadi, daik karena penyendirian sifat atau keadaan yang berbeda dengan sifat dan keadaan rawi lainnya, ataupun juga karena penyendirian personalia itu sendiri. Berdasarkan pada bentuk penyendirian tersebut, kemudian hadits gharib terbagi pada dua macam: pertama, Hadits Gharib Mutlaq yakni hadits yang didalamnya  terdapat penyendirian sanad dalam jumlah personalianya. Kedua, Hadis Gharib Nisbi yakni Hadis yang terdapat penyendirian dalam dalam satu sifat atau keadaan tertentu.
b.      Ilmu Asbab Wurud Al-Hadits
      Menurut ahli bahasa, asbab diartikan dengan al-habl (tali), yang menurut lisan Al-Arab berarti saluran, yang artinya adalah segala sesuatu yang menghubungkan satu benda dengan benda yang lainnya. Adapun arti asbab menurut istilah adalah Segala sesuatu yang mengantar pada tujuan.Kata wurud (sampai, muncul) berarti : "Air yang memancar atau yang mengalir." Dalam pengertian yang lebih luas, As-Suyuti menyebutkan pengertian asbab wurud al-hadist, yaitu Sesuatu yang membatasi arti suatu hadist, baik berkaitan dengan arti umum atau khusus, mutlak atau muqqayyad, dinasakhkan, dan seterunya, atau suatu arti yang dimaksud oleh sebuah hadist saat kemunculannya."
      Dari pengertian asbab wurud al-hadist seperti di atas, dapat dibawa pada pengertian ilmu asbab wurud al-hadist, yakni suatu ilmu yang membicarakan sebab-sebab Nabi Muhammad SAW. Menuturkan sabdanya dan saat beliau menuturkannya, seperti sabda RasulullahSAW tentang menyucikan air laut, yaitu, " Laut itu suci airnya dan halal bangkainya". Hadist ini dituturkan oleh Rasulullah SAW ketika seorang sahabat sedang berada di tengah laut mendapatkan kesulitan berwudhu.
      Menurut As-Suyuti, urgensi asbab wurud terhadap hadist sebagai salah satu jalan untuk memahami kandungan hadist, sama halnya dengan urgensi asbab nuzul Al-Qur'an terhadap Al-Qur'an. Ini terlihat dari beberapa faedahnya antara lain dapat men-taksis arti yang umum, membatasi arti yang mutlak,menunjukkan perincian terhadap yang mujmal, menjelaskan kemusykilan, dan menunjukkan illat suatu hukum.Maka dengan memahami asbab wurud al-hadist ini, makna yang dimaksud atau dikandung oleh suatu hadist dapat dipahami dengan mudah. Namun, tidak semua hadist mempunyai asbab al-wurud, seperti halnya tidak semua ayat Al-Qur'an memiliki asbab an-nuzul-nya.
      Sedangkan menurut Endang Soetari (2005:212), Ta'rif  ilmu Asbab Wurud al-Hadist "Ilmu yang menerangkan sebab-sebab Nabi SAW menuturkan sabdanya dan masa-masa Nabi menuturkan".  Ilmu ini titik berat pembahasannya pada latar belakang dan sebab lahirnya Hadist. Manfaat mengetahui asbab al-wurud Hadist antara lain untuk membantu memahami dan menafsirkan Hadits serta mengetahui hikmah-hikmah yang berkaitan dengan wurudnya hadist tersebut, atau mengetahui kekhususan konteks makna hadist. Perintis ilmu asbab Wurud al-Hadits adalah Abu Hamid ibn Kaznah al-Jubairi, dan Abu Hafash 'Umar ibn Muhammad ibn Raja' al-'Ukbari (339 H). Kitab yang terkenal adalah kitab al-nayan wa al-Ta'rif, susunan Ibrahim Ibn Muhammad al-Husaini (1120 H).
c.       Ilmu An-Nasikh Wa Al-mansukh
      Menurut Drs. H. Mudasir dalam bukunya Ilmu Hadist (2005:53), Yang dimaksud dengan ilmu an-naskh wa almansukh disini terbatas sekitar nasikh dan mansukh pada hadist. Beliau menyebutkan bahwa kata An-Nasakh menurut bahasa mempunyai dua pengertian, al-izzlah (menghilangkan), seperti (matahari menghilangkan bayangan) dan an-naql (menyalin), seperti (saya menyalin kitab) yang berarti saya menyalin isi suatu kitab untuk dipindahkan pada kitab lain. Pengertian An-Nasakh menurut bahasa, dapat kita jumpai  Dalam Al-Qur'an, antara lain dalam firman Allah SWT. Surat Al-Baqarah ayat 106: "Ayat mana saja yang Kami nasakhkan atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tidaklah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu". (QS. Al-Baqarah : 106)
      Adapun An-Nasakh menurut Istilah, sebagaimana pendapat ulama ushul adalah:"Syari' mengangkat (membatalkan) suatu hukum syara' dengan menggunakan dalil syar'i yang datang kemudian."    
      Sedangkan menurut Endang Soetari dalam bukunya Ilmu Hadist (2005:213) menyebutkan bahwa Ta'rif ilmu Nasikh wa al-Mansukh: adalah:"Ilmu yang menerangkan Hadist-hadiat yang sudah dimansukhkan dan yang menasikhkannya."
      Beliau menyatakan bahwa ilmu ini bermanfaat untuk pengamalan Hadis bila ada dua Hadis Maqbul yang tanakud yang tidak dapat dikompromikan atau dijama'. Bila dapat dikompromikan, hanya sampai pada tingkat mukhtalif al-hadis, kedua hadis maqbul tersebut dapat diamalkan. Bila tidak bisa dijama' (dikompromikan, maka Hadist yang tanakud tadi ditarjih atau dinasakh. Bila diketahui mana diantara kedua Hadist yang diwurudkan duluan dan yang diwurudkan kemudian, maka yang wurud kemudian (terakhir) itulah yang diamalkan. Sedangkan yang duluan tidak diamalkan. Yang belakangan disebut nasikh, yang duluan disebut mansukh. Kaidah yang berkaitan dengan nasakh, antara lain berupa cara mengetaui nasakh, yakni penjelasan dari Rasulullah SAW sendiri, keterangan sahabat dan tarikh datangnya matan yang dimaksud.
4.      Ilmu Kaidah Tentang Sanad dan Matan
a.       Ilmu 'Ilal Al-Hadist
      Munzier Suparta (2006:35) menyatakan kata 'Ilal adalah bentuk jama dari kata Al-'Illah, yang menurut bahasa berarti penyakit atau sakit. Menurut Muhadditsin, istilah 'Illah berarti sebab yang tersembunyi atau samar-samar yang berakibat tercemarnya hadist. Adapun yang dimaksud dengan Ilmu Ilal Al-Hadist menurut Muhadditsin adalah ilmu yang membahas sebab-sebab yang tersembunyi, yang dapat mencacatkan keshahihan hadist, seperti mengatakan muttashil terhadap hadist yang munqathi, menyebutkan marfu terhadap hadist yang mauquf, memasukan hadist kedalam hadist lain, dan hal-hal yang seperti itu.
      Beberapa buku lainnya juga, seperti Muhammad Ahmad dan M.Mudzakir (1998:61) dan Endang Soetari menyatakan hal yang sama mengenai definisi Ilmu 'Ilal Al-Hadist. Jadi secara singkat, Ilmu Ilal Al-Hadist adalah ilmu yang membahas tentang suatu illat yang dapat mencacatkan kesahihan hadist.
Endang Soetari,  menyatakan illat yang terjadi pada sanad dan terjadi pula pada matan, yaitu :
a)      Lahir sanad shahih padahal terdapat rawi yang tidak mendengar sendiri dari guru.
b)      Hadist Mursal dimusnadkan lahirnya.
c)      Hadist mahfuzh dari shahabat tertentu diriwayatkan dari sahabat lain yang berbeda tempat tinggalnya.
d)     Hadist Mahfuzh dari sahabat tertentu diriwayatkan dengan paham tabi'in.
e)      Meriwayatkan dengan an-'anah suatu hadist yang sanadnya gugur seorang rawi atau beberapa orang.
f)       Berlainan sanadnya dengan sanad yang lebih kuat.
g)      Berlainan nama gurunya yang memberikan hadist dengan nama guru rawi-rawi tsiqah, atau nama guru tidak disebutkan dengan jelas.
h)      Meriwayatkan hadist yang tidak pernah didengar dari gurunya, walaupun gurunya itu benar-benar guru yang pernah memberikan beberapa hadist padanya.
i)        Meriwayatkan hadist dengan sanad lain, secara waham terhadap hadist yang sebenarnya, hanya mempunyai satu sanad.
j)        Memauqufkan hadist yang maufu.
      Adapun beberapa ulama yang menulis mengenai ilmu ini adalah Ibn Al-Madini (234 H), Ibn Abi Hatim (327 H) yakni kitab Ilal Al-Hadist. Imam Muslim (261 H), Al-Daruquthni (375 H), dan Muhammad Ibn Abd Allah Al-Hakim.
b.      Ilmu At-Tashif Wa At-Tahrif
      Menurut Mudasir (2005:57), Ilmu At-tashif wa at-tahrif adalah ilmu yang berusaha menerangkan hadis-hadis yang sudah diubah titik atau syakalnya (musahhaf) dan bentuknya (muharraf). Al-Hafizh Ibnu Hajar membagi ilmu ini menjadi dua bagian, yaitu ilmu at-tashif dan ilmu at-tahrif. Sebaliknya Ibnu Shalah dan pengikutnya menggabungkan kedua ilmu ini menjadi satu ilmu.Menurutnya, ilmu ini merupakan satu disiplin iilmu bernilai tinggi yang dapat membangkitkan semangat para ahli hafalan (huffaz). Hal ini karena hafalan para ulama terkadang terjadi kesalahan bacaan dan pendengarannya yang diterima dari orang lain.
      Sedangkan menurut Endang Soetari (2005:216) Ilmu Tashhif wa al-Tahrif adalah: "Ilmu yang menerangkan Hadis-hadis yang sudah diubah titiknya (musahhaf) dan bentuknya (muharraf)". Diantara kitab ilmu ini adalah kitab: al-Tashhif wa al-Tahrif, susunan al-Daruquthni (358 H) dan Abu Ahmad al-Askari (283 H).
      Sedangkan menurut Imam Al-Nawawi (2001:120), kesalahan tulis (tashhif) bisa saja terjadi pada kata atau lafadh dalam sebuah Hadis atau penglihatan rawi, baik dalam segi sanad maupun matannya. Diantara kesalahan tulis pada sanad adalah penulisan al-Awwam bin Murajim (dengan ra' dan jim pada kata Murajim) ditulis secara salah oleh Ibn al-Ma'in dengan za' dan ha' (Muzahim). Dan diantara kesalahan tulis pada matan adalah Hadis Zaid bin Tsabit berikut ini: Anna Rasulallah ihtajara fi al-masjid (Bahwa Rasulullah membuat kamar di salah satu ruangan masjid dari tikar atau yang sejenisnya di mana tempat itu dipergunakan untuk shalat). Ibnu Lahi'ah menulis secara salah kata ihtajara dengan menggantikannya menjadi ihtajama (berbekam).  Menurutnya, kadang kesalahan tulis terjadi karena salah dengar,  seperti Hadis dari Ashim al-Ahwal. Kadang pula kesalahan terjadi pada makna Hadis, seperti ungkapan Muhammad bin al-Mutsanna berikut ini, Nahnu qaumun lana syarafun, nahnu min 'anazah shalla ilaina Rasulullah (Kami adalah sekelompok orang yang memiliki kehormatan. Kami lahir dari kabilah Anazah di mana Rasulullah pernah shalat di kabilah kami). Kata 'anazah di sini dipahami secara salah oleh Muhammad bin al-Mutsanna. Padahal yang dimaksudkan dari Hadis bahwa Rasulullah shalat di depannya diberi tanda dengan tongkat. Bahkan ada orabg arab pedesaan yang salah memahami 'anazah. Ia mengira bahwa kata itu adalah 'anzah (dengan nun), yang berartri kambibg. Ia pun akhirnya, karena salah memahami makna Hadis yang dimaksud, shalat dengan disertai kambing kecil.
c.       Ilmu Mukhtalif Al-Hadis
      Mudasir (2005:58) mendefinisikan ilmu mukhtalif al-hadis sebagai ilmu yang membahas tentang hadis-hadis yang menurut lahirnya saling bertentangan atau berlawanan agar pertentangan tersebut dapat dihilangkan atau dikompromikan antara keduanya sebagaimana membahas hadis-hadis yang sulit dipahami isi atau kandungannya, dengan menghilangkan kemusykilan atau kesulitannya serta menjelaskan hakikatnya.
      Dari pengertian ini dapat dipahami bahwa dengan menguasai ilmu mukhtalif al-hadis, maka hadis-hadis yang tampaknya bertentangan dapat diatasi dengan menghilangkan pertentangan itu sendiri. Begitu juga kemusykilan yang terlihat dalam suatu hadis dapat dihilangkan dan ditemukan hakikat dari kandungan hadis tersebut. Sebagian ulama menyamakan istilah ilmu mukhtalif al-hadis dengan ilmu musykil al-hadis, ilmu takwil al-hadis, ilmu talfiq al-hadis, dan ilmu ikhtilaf al-hadis. Akan tetapi, yang dimaksudkan oleh istilah-istilah di atas memiliki arti yang sama.
      Imam Al-Nawawi (2001:121) menyebutkan bahwa maksud dari Mukhtalaf al-Hadis adalah adanya dua Hadis yang bertentangan maknanya secara eksplisit. Tugas seorang ahli Hadis dalam masalah ini adalah menggabungkan dua Hadis yang bertentangan itu, atau mentarjih salah satunya. Hanya para imam yang mempunyai penguasaan mendalam pada bidang Hadis dan fikih, di samping para ahli ushul fikih yang memiliki kapasitas yang memadai dalam bidang semantik.
      Hadis mukhtalaf terbagi ke dalam dua bagian. Pertama, pertentangan yang memungkinkan untuk menggabungkan maksud dari dua hadis itu. Setelah menjadi jelas, bagian yang telah digabungkan itu wajib untuk diamalkan. Kedua, pertentangan yang memungkinkan untuk digabungkan dengan satu alasan. Karenanya, jika kita mengetahui salah satu dari kedua hadis itu menjadi penasikh, maka kita dahulukan Hadis penasih itu. Jika tidak, kita mengamalkan Hadis yang diunggulkan (rajih), seperti mentarjih karakteristik dan jumlah para rawi yang mencapai sekitar lima puluh jalur.


BAB III
PENUTUP
   

A.    KESIMPULAN

      Ilmu Hadits adalah ilmu yang membahas atau berkaitan dengan Nabi SAW. Perintis pertama Ilmu Hadits adalah Al Qadi Abu Muhammad Ar-Ramahurmuzy. Pada mulanya, Ilmu Hadits merupakan beberapa ilmu yang masing-masing berdiri sendiri, ilmu-ilmu yang terpisah dan bersifat parsial tersebut disebut dengan Ulumul Hadits, karena masing-masing membicarakan tentang hadits dan para perawinya. Akan tetapi pada masa berikutnya ilmu-ilmu itu digabungkan dan dijadikan satu serta tetap menggunakan nama Ulumul Hadits.
      Macam-macam Ilmu Hadits ada dua yaitu Ilmu Hadits Riwayah dan Ilmu Hadits Dirayah. Adapun cabang-cabang dari Ilmu Hadits Riwayah dan Ilmu Hadits Dirayah adalah:
1.  Ilmu Rijal al-Hadits                            6.   Gharib al-Hadits
2.  Ilmu Jarh wa at-Ta'dil                        7.   Nasikh wa al Mansukh
3.  Fann al-Mubhanat                               8.   Asbab Wurud al-Hadits
4.  Tashhif wa at-Tahrif                           9.   Talfiq al-Hadits
5.  'Ilal al-Hadits                                     10. Musthalah Ahli Hadits

B.     SARAN

      Sebagai manusia biasa kita menyadari dalam pembuatan makalah ini masih terdapat banyak kesalahan dan kekurangan. Untuk itu kritik dan saran yang bersifat konstruktif sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini dan berikutnya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Aamiin.


DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Muhammad, dan Mudzakir, Muhammad. 2000. Ulumul Hadits. Bandung: CV Pustaka Setia
Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. 2010. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Semarang: PT Pustaka Rizki Putra

Ash-Shiddieqy, Muhammad Hasbi. 2003. Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Islam. Jakarta: PT Bulan Bintang

Suparta, Munzier. 2003. Ilmu Hadits. Jakarta: PT Raja Grafindo

Mudasir. 2005. Ilmu Hadis. Bandung: Pustaka Setia

Ahmad, Muhammad dan M. Mudzakir. 2000. Ilmu Hadis. Pustaka Setia. Bandung

Suprapta, Munzier. 2006. Ilmu Hadis. Grafindo Persada. Jakarta



Makalah - Standardisasi Pendidikan Nasional

Tulisan dibawah ini adalah makalah Standardisasi Pendidikan Nasional
untuk mendapatkan filenya silakan di download :
word : Standardisasi Pendidikan Nasional.docx

BAB I
PENDAHULUAN
I. Latar Belakang
      Standar nasional pendidikan merupakan kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. Penetapan standar sebagaimana dimaksudkan dalam UU Nomor 20 Tahun 2003, setidaknya menggambarkan optimisme Pemerintah dan DPR untuk mendongkrak mutu pendidikan nasional sehingga tidak tertinggal jauh dibanding negara-negara lainnya di Asia khususnya dan dunia pada umumnya.
      Banyak Pertanyaan tentang Standardisasi pendidikan nasional di Indonesia, bahkan ada pro dan kontra terhadap standardisasi pendidikan. Setiap daerah memiliki spesifikasi dan standar sendiri berdasarkan ciri khas budaya serta letak geografisnya. Bagi yang mendukung, standardisasi tetap dibutuhkan karena standardisasi adalah suatu kebutuhan karena tuntun masyarakat yang ingin berubah dengan cepat. Namun bagi yang lainnya, bahwa peningkatan kualitas pendidikan bukan hanya dapat dicapai melalui standardisasi pendidikan dalam arti akademik tetapi merupakan bagian upaya yang lebih besar ialah pemberantasan kemiskinan.
      Dari beberapa pembahasan dan permasalahan diatas maka dalam makalah ini akan dibahas tentang Standar Pendidikan Nasional, sehingga dapat memberikan pengetahuan kepada pembaca serta dapat mengetahui bagaimana Komersialisasi dalam pendidikan di Indonesia.
II. Rumusan Masalah
      Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah Bagaimana Standardisasi Pendidikan Nasional?
     
III. Batasan Masalah
      Adapun batasan-batasan dalam pembahasan Standardisasi Pendidikan Nasional yaitu :
a. Pengantar tentang Standardisasi Pendidikan Nasional
b. Pro dan Kontra Standardisasi Pendidikan Nasional
c. Standardisasi Pendidikan Nasional
d. Komersialisasi Pendidikan

IV. Tujuan
      Adapun tujuan dari pembuatan Makalah ini adalah sebagai pembelajaran dan pemenuhan tugas mata kuliah di STAI AL-AZHAR Pekanbaru.

V. Manfaat
      Manfaat adanya makalah Standardisasi Pendidikan Nasional adalah
a. Menambah wawasan pembaca tentang Standardisasi Pendidikan Nasional
b. Memahami dan mengetahui Pro dan Kontra Standardisasi Pendidikan Nasional
c. Mengetahui bagaimana standar, aturan dan undang-undang Standardisasi Pendidikan Nasional, dan
d. Mengetahui bagaimana komersialisasi dalam pendidikan
   
   
BAB II
PENDAHULUAN

A. Pengantar

      Perdebatan seputar perlu tidaknya pendidikan di Indonesia distandardisasi seperti yang berlaku di negara-negara maju, mendapat pro-kontra baik dari masyarakat, praktisi, akademisi dan pemerhati pendidikan. Standardisasi dimaknai sebagai penentuan standar/kriteria minimal terhadap layak-tidaknya unsur-unsur penting dalam penyelenggaraan pendidikan. Penetapan standar sebagaimana dimaksudkan dalam UU Nomor 20 Tahun 2003, setidaknya menggambarkan optimisme Pemerintah dan DPR untuk mendongkrak mutu pendidikan nasional sehingga tidak tertinggal jauh dibanding negara-negara lainnya di Asia khususnya dan dunia pada umumnya.

B. Pro dan Kontra Standardisasi Pendidikan

      Pertanyaan yang kemudian muncul ialah, apakah pendidikan nasional sudah saatnya distandardisasi? Bukankah setiap daerah memiliki spesifikasi tersendiri berdasarkan ciri khas budaya, dan geografisnya, sehingga tidak bisa diperlakukan sama dengan daerah lainnya di Indonesia. Apakah pemberlakuan standardisasi dimaksud tidak mempertimbangkan aspek sumber daya manusia, sumber daya alam dan berbagai sarana dan prasarana sekolah yang belum memadai secara merata di Indonesia? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini memang tidak gampang, karena kondisi pendidikan secara nasional masih sangat memprihatinkan dalam sejumlah aspek. Katakanlah pada aspek tenaga pendidik, tidak semua daerah memiliki kemampuan anggaran untuk merekrut tenaga pendidik sesuai kebutuhan masing-masing satuan pendidikan. Demikian juga mutu dan kompetensi lulusan, pemerintah hanya menilai pada hasil ujian nasional, sementara proses yang dijalani seorang siswa selama tiga tahun sama sekali tidak dijadikan indikator yang menentukan keberhasilannya.
      Tidak berarti standardisasi tidak diperlukan, tetapi memerlukan waktu dan pengkajian mendalam mengenai dampak yang timbul, diperlukan juga pemerataan pembangunan di semua daerah sebelum standardisasi diberlakukan. Banyak kalangan menilai bahwa Indonesia cenderung mengadopsi sistem pendidikan dari negara-negara Barat yang telah mapan dan berkembang dengan cepat. Di sinilah terjadi pro dan kontra terhadap standardisasi dalam dunia pendidikan. Tilaar (2006: 130) mengidentifikasi pendapat kelompok pro dan kontra terhadap standardisasi pendidikan, sebagai berikut:
      Pro Standardisasi:

  • Standardisasi berfungsi sebagai penuntun (guideline) bagi guru di dalam mengadakan perubahan global.
  • Standardisasi berisi suatu kewajiban moral untuk memberikan kesempatan yang sama kepada semua peserta didik.
  • Standardisasi yang bersifat nasional akan menghindari keinginan keinginan pribadi dari guru.
  • Adanya standar nasional mencegah kontrol lokal yang berlebihan.
  • Standardisasi pendidikan dirasakan suatu kebutuhan karena tuntutan masyarakat yang berubah dengan cepat.
  • Standardisasi pendidikan akan memberikan akuntabilitas pendidikan.

   
      Kontra Standardisasi:

  • Adanya perbedaan di dalam masyarakat demokrasi.
  • Standardisasi pendidikan banyak dipengaruhi oleh keputusan-keputusan bisnis dan politik dan juga kepada para expert pendidikan tetapi diperlukan pula pendapat-pendapat yang berbeda yang datang dari orang dewasa seperti orang tua dalam masyarakat.
  • Standardisasi telah menentukan suatu tujuan yang terletak di luar proses pendidikan itu sendiri. Sekolah mempunyai otoritas tertinggi, dalam hal ini guru, dalam mengadakan evaluasi terhadap kemajuan belajar peserta didik.
  • Belajar dan mengajar secara berhasil (effective learning) terletak kepada relasi antara siswa dan guru bukan pada otoritas dari luar yang dipaksakan dari atas (impose from above).
  • Tidak semua evaluasi belajar yang mengikuti standar yang dibutuhkan dari atas sesuai dengan situasi belajar mengajar program pendidikan kesenian.
  • Standar yang diterapkan di sini adalah suatu standar penipuan yang menjual mutu pendidikan dengan biaya yang tinggi mengorbankan nilai-nilai kemanusiaan.
  • Peningkatan kualitas pendidikan bukan hanya dapat dicapai melalui standardisasi pendidikan dalam arti akademik tetapi merupakan bagian upaya yang lebih besar ialah pemberantasan kemiskinan.
  • Standardisasi bukannya bermaksud untuk menyingkirkan peserta didik yang tidak beruntung tetapi justru untuk membuka mata masyarakat mengenai ketimpangan yang masih ada di dalam kehidupan masyarakat.
  • Perlunya standardisasi pendidikan sebagai pemetaan masalah yang dihadapi di dalam pendidikan secara menyeluruh namun evaluasi proses belajar mengajar tidak menyepelekan peranan guru sebagai orang pertama yang mengetahui kemajuan belajar peserta didik.
  • Evaluasi pendidikan untuk mengetahui tercapai tidaknya standar yang telah disepakati tidak semata-mata diselenggarakan melalui tes.

C. Standardisasi Pendidikan Nasional

      Sebagai tindak lanjut dari ditetapkannya UU Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, maka pemerintah melalui PP 19 Tahun 2005 menetapkan standar nasional pendidikan yang dapat dijadikan sebagai pedoman yang mengarahkan setiap praktisi, birokrat dan penyelenggara pendidikan untuk menggunakan standardisasi dalam proses, penyelenggaraan dan hasil pendidikan dari semua jenjang dan satuan pendidikan. Dalam Pasal 1, ayat 1, dan ayat 4 s/d 11 disebutkan:

  1. Standar nasional pendidikan adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia;
  2. Standar kompetensi lulusan adalah kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan;
  3. Standar isi adalah ruang lingkup materi dan tingkat kompetensi yang dituangkan dalam kriteria tentang kompetensi tamatan, kompetensi bahan kajian, kompetensi mata pelajaran, dan silabus pembelajaran yang harus dipenuhi oleh peserta didik pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu;
  4. Standar proses adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan pelaksanaan pembelajaran pada satu satuan pendidikan untuk mencapai standar kompetensi lulusan;
  5. Standar pendidik dan tenaga kependidikan adalah kriteria pendidikan prajabatan dan kelayakan fisik maupun mental, serta pendidikan dalam jabatan;
  6. Standar sarana dan prasarana adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan kriteria minimal tentang ruang belajar, tempat berolahraga, tempat beribadah, perpustakaan, laboratorium, bengkel kerja, tempat bermain, tempat berkreasi dan berekreasi, serta sumber belajar lain, yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran, termasuk penggunaan teknologi informasi dan komunikasi,
  7. Standar pengelolaan adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan kegiatan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan, kabupaten/kota, provinsi, atau nasional agar tercapai efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pendidikan;
  8. Standar pembiayaan adalah standar yang mengatur komponen dan besarnya biaya operasi satuan pendidikan yang berlaku selama satu tahun.
  9. Standar penilaian pendidikan adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan mekanisme, prosedur, dan instrumen penilaian hasil belajar peserta didik.

   
      Sebagai manifestasi dari pemberlakuan UU No. 20 Tahun 2003 dan PP No. 19 Tahun 2005, maka operasionalisasi ketentuan mengenai komponen-komponen pendidikan yang memerlukan standardisasi ditetapkan dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional. Masing-masing komponen dijelaskan sebagai berikut:
   
1. Standar Isi
      Standar isi adalah ruang lingkup materi dan tingkat kompetensi yang dituangkan dalam kriteria tentang kompetensi tamatan, kompetensi bahan kajian, kompetensi mata pelajaran, dan silabus pembelajaran yang harus dipenuhi oleh peserta didik pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu. Standar ini disusun dan dikembangkan oleh BSNP dan ditetapkan oleh Menteri Pendidikan Nasional (sekarang Kementrian Pendidikan Nasional). Hal ini selanjutnya diatur dalam Permendiknas No. 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi.
2. Standar Proses
      Standar Proses adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan pelaksanaan pembelajaran pada satu satuan pendidikan untuk mencapai standar kompetensi lulusan. Standar ini disusun dan dikembangkan oleh BSNP dan ditetapkan oleh Keputusan Menteri Pendidikan Nasional. Standar Proses mencakup: perencanaan proses pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran, penilaian hasil pembelajaran, dan pengawasan proses pembelajaran. Hal ini selanjutnya diatur dalam Permendiknas No. 41 Tahun 2007.
3. Standar Kompetensi Lulusan
      Standar kompetensi lulusan adalah kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Standar ini disusun dan dikembangkan oleh BSNP dan ditetapkan oleh Keputusan Menteri Pendidikan Nasional. Hal ini selanjutnya diatur dalam Permendiknas No.23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.
4. Standar Tenaga Kependidikan
      Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan adalah kriteria pendidikan prajabatan dan kelayakan fisik maupun mental, serta pendidikan dalam jabatan. Standar ini disusun dan dikembangkan oleh BSNP dan ditetapkan oleh Keputusan Menteri Pendidikan Nasional. Pendidik harus memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Kualifikasi akademik yang dimaksudkan di atas adalah tingkat pendidikan minimal yang harus dipenuhi oleh seorang pendidik yang dibuktikan dengan ijazah dan/atau sertifikat keahlian yang relevan sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Kompetensi sebagai agen pembelajaran pada jenjang pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan anak usia dini meliputi: kompetensi pedagang; kompetensi kepribadian; kompetensi profesional; dan kompetensi sosial.
      Sementara yang dimaksud dengan tenaga pendidik adalah guru pada pada TK/RA, SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SDLB/SMPLB/SMALB, SMK/MAK, satuan pendidikan Paket A, Paket B dan Paket C, dan pendidik pada lembaga kursus dan pelatihan. Kemudian Tenaga kependidikan meliputi kepala sekolah/madrasah, pengawas satuan pendidikan, tenaga administrasi, tenaga perpustakaan, tenaga laboratorium, teknisi, pengelola kelompok belajar, pamong belajar, dan tenaga kebersihan.
      Hal ini selanjutnya diatur dalam: Permendiknas No.12 Tahun 2007 Tentang Standar Pengawas Sekolah/Madrasah; Permendiknas No. 13 Tahun 2007 Tentang Standar Kepala Sekolah/Madrasah; Permendiknas No. 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi dan Kompetensi Guru; Permendiknas No. 18 Tahun 2007 tentang "Sertifikasi Guru Dalam Jabatan; Permendiknas No. 24 Tahun 2008 Tentang Standar Tenaga Administrasi Sekolah/Madrasah; Permendiknas No. 25 Tahun 2008 Tentang Standar Tenaga Perpustakaan Sekolah/Madrasah; dan Permendiknas No. 27 Tahun 2008 Tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Konselor.
5. Standar Sarana dan Prasarana
      Standar sarana dan prasarana adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan kriteria minimal tentang ruang belajar, tempat berolah raga, tempat beribadah, perpustakaan, laboratorium, bengkel kerja, tempat bermain, tempat berkreasi dan berekreasi, serta sumber belajar lain, yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran, termasuk penggunaan teknologi informasi dan komunikasi. Standar ini disusun dan dikembangkan oleh BSNP dan ditetapkan oleh Keputusan Menteri Pendidikan Nasional. Hal ini selanjutnya diatur dalam Permendiknas Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Standar Sarana dan Prasarana Untuk Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah (SD/MI), Sekolah Menengah Pertama / Madrasah Tsanawiyah (SMP/MTs), dan Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah (SMA/MA).
6. Standar Pengelolaan
      Standar pengelolaan pendidikan untuk satuan pendidikan dasar dan menengah adalah standar pengelolaan pendidikan untuk sekolah/ madrasah yang berkaitan dengan perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan kegiatan pendidikan agar tercapai efisiensi dan efektivitas enyelenggaraan pendidikan. Hal irn selanjutnya diatur dalam Permendiknas Nomor 19 Tahun 2007 Tentang Standar Pengelolaan Pendidikan Oleh Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.
7. Standar Pembiayaan
      Standar pembiayaan adalah standar yang mengatur komponen dan besarnya biaya operasi satuan pendidikan yang berlaku selama satu tahun. Dalam PP No. 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan pasal 3 disebutkan:
1) Biaya pendidikan meliputi:
    a. biaya satuan pendidikan;
    b. biaya penyelenggaraan dan/atau pengelolaan pendidikan; dan
    c. biaya pribadi peserta didik.
2) Biaya satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf (a) terdiri atas:
    a. biaya investasi, yang terdiri atas:
        1. biaya investasi lahan pendidikan; dan
        2. biaya investasi selain lahan pendidikan.
    b. biaya operasi, yang terdiri atas:
        1. biaya personalia; dan
        2. biaya nonpersonalia.
     c. bantuan biaya pendidikan; dan
     d. beasiswa.
3) Biaya penyelenggaraan dan/atau pengelolaan pendidikan sebagai mana dimaksud pada ayat (1) huruf (b) meliputi:
     a. biaya investasi, yang terdiri atas:
        1. biaya investasi lahan pendidikan; dan
        2. biaya investasi selain lahan pendidikan.
     b. biaya operasi, yang terdiri atas:
        1. biaya personalia; dan
        2. biaya nonpersonalia.
4) Biaya personalia sebagaimana dimaksud pad a ayat (2) huruf (b) angka 1 dan ayat (3) huruf (b) angka 1 meliputi:
      a. Biaya personalia satuan pendidikan, yang terdiri atas:
          1. gaji pokok bagi pegawai pada satuan pendidikan;
          2. tunjangan yang melekat pada gaji bagi pegawai pada satuan pendidikan;
          3. tunjangan struktural bagi pejabat struktural pada satuan pendidikan;
          4. tunjangan fungsional bagi pejabat fungsional di luar guru dan dosen;
          5. tunjangan fungsional atau subsidi tunjangan fungsional bagi guru dan dosen;
          6. tunjangan profesi bagi guru dan dosen;
          7. tunjangan khusus bagi guru dan dosen;
          8. maslahat tambahan bagi guru dan dosen; dan
          9. tunjangan kehormatan bagi dosen yang memiliki jabatan profesor atau guru besar.
       b . biaya personalia penyelenggaraan dan/atau pengelolaan pendidikan, yang terdiri atas:
          1. gaji pokok;
          2. tunjangan yang melekat pada gaji;
          3. tunjangan struktural bagi pejabat struktural; dan
          4. tunjangan fungsional bagi pejabat fungsional.
   
      Berkaitan dengan Standar Pembiayaan Pendidikan ini, selanjutnya disusun dan dikembangkan oleh BSNP dan ditetapkan oleh Keputusan Menteri Pendidikan Nasional. Namun demikian, mengenai komponen biaya dalam satuan pendidikan secara nasional belum ditetapkan dalam Keputusan Menteri.
   
8. Standar Penilaian
      Standar penilaian pendidikan adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan mekanisme, prosedur, dan instrumen penilaian hasil belajar peserta didik. Standar ini disusun dan dikembangkan oleh BSNP dan ditetapkan oleh Keputusan Menteri Pendidikan Nasional. Hal ini selanjutnya diatur dalam Permendiknas No. 20 Tahun 2007 Tentang Standar Penilaian.
D. Komersialisasi Pendidikan
      Perkembangan zaman memang telah mengubah segala-galanya. Seluruh sendi-sendi hidup manusia terasa digerogoti oleh suatu trend perkembangan yang berambisi pada keuntungan bisnis dan sistem permodalan sebagai syarat mutlak untuk menghadapi persaingan global. Dalam konsep komersial, unsur kemanusiaan tidak menjadi penting karena cenderung pada bagaimana memperoleh keuntungan sebesar­besarnya sesuai kapasitas produksi yang dimiliki. Komersialisasi dapat dipahami sebagai suatu aktivitas perdagangan yang menawarkan produk dan jasa layanan dengan harga tertentu, dengan harapan dapat menghasilkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Perkembangan serupa kini mulai terasa di dunia pendidikan, termasuk di Indonesia. Pendidikan bukan lagi menjadi instrumen sosial untuk memberdayakan masyarakat dari berbagai latar belakang dan kedudukan sosialnya, tetapi lebih diarahkan pada bagaimana menjadikan pendidikan sebagai barang dagangan yang menghasilkan keuntungan sebesar-besarnya.
      Sekali lagi, pendidikan di Indonesia mulai mengadopsi sistem penyelenggaraan pendidikan dari negara-negara kapitalis, yang cenderung mengubah pendidikan sebagai sebuah industri pengetahuan yang dapat menghasilkan modal yang besar dalam jangka waktu yang relatif singkat. Jika pendidikan dipahami sebagai investasi masa depan, maka dalam konsep komersialisasi, pendidikan memerlukan standar tertentu sehingga menarik perhatian para pemilik modal untuk berinvestasi di lembaga pendidikan. Dampaknya adalah bahwa hanya peserta didik yang memiliki modal besar alias kelompok elit saja yang dapat menikmati.
      Sementara kelompok masyarakat yang tidak bermodal alias rakyat jelata hanya pantas duduk di sekolah-sekolah yang dianggap tidak berkualitas. Bahkan mungkin pada waktunya, masyarakat hanya menjadi penonton yang menyaksikan gemerlapnya sekolah dan kampus-kampus yang memiliki sarana dan prasarana mewah dengan kualitas berstandar internasional.
      Seharusnya pendidikan nasional Indonesia diselenggarakan sesuai jiwa dan semangat Pancasila dan UUO 1945. Mengapa? Karena pada dasarnya identitas suatu bangsa akan tergambar dari landasan sosio-budaya yang memungkinkan bangsa itu memiliki kepribadian dan jati diri yang sesungguhnya.
      Dalam pasal 2, 3 & 4 UU No. 9 Tahun 2009 Tentang Badan Hukum Pendidikan, 15 ditegaskan bahwa:
(2) : Badan hukum pendidikan berfungsi memberikan pelayanan pendidikan formal kepada peserta didik;
(3) : Badan hukum pendidikan bertujuan memajukan pendidikan nasional dengan menerapkan manajemen berbasis sekolah/ madrasah pada jenjang pendidikan dasar dan menengah dan otonomi perguruan tinggi pada jenjang pendidikan tinggi;

(4) :
      1) Pengelolaan dana secara mandiri oleh badan hukum pendidikan didasarkan pada prinsip nirlaba, yaitu prinsip kegiatan yang tujuan utamanya tidak mencari laba, sehingga seluruh sisa hasil usaha dari kegiatan badan hukum pendidikan, harus ditanamkan kembali ke dalam badan hukum pendidikan untuk meningkatkan kapasitas dan/ atau mutu layanan pendidikan.
      2) Pengelolaan pendidikan formal secara keseluruhan oleh badan hukum pendidikan didasarkan pada prinsip:
a. otonomi, yaitu kewenangan dan kemampuan untuk menjalankan kegiatan secara mandiri baik dalam bidang akademik maupun non-akademik;
b. akuntabilitas, yaitu kemampuan dan komitmen untuk mempertanggung-jawabkan semua kegiatan yang dijalankan badan hukum pendidikan kepada pemangku kepentingan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
c. transparansi, yaitu keterbukaan dan' kemampuan menyajikan informasi yang relevan secara tepat waktu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan standar pelaporan yang berlaku kepada pemangku kepentingan;
d. penjaminan mutu, yaitu kegiatan sistemik dalam memberikan layanan pendidikan formal yang memenuhi atau melampaui Standar Nasional Pendidikan, serta dalam meningkatkan mutu pelayanan pendidikan secara berkelanjutan; .
e. layanan prima, yaitu orientasi dan komitmen untuk memberikan layanan pendidikan formal yang terbaik demi kepuasan pemangku kepentingan, terutama peserta didik;
f. akses yang berkeadilan, yaitu memberikan layanan pendidikan formal kepada calon peserta didik dan peserta didik, tanpa memandang latar belakang agama, ras, etnis, gender, status sosial, dan kemampuan ekonominya;
g. keberagaman, yaitu kepekaan dan sikap akomodatif terhadap berbagai perbedaan pemangku kepentingan yang bersumber dari kekhasan agama, ras, etnis, dan budaya;
h. keberlanjutan, yaitu kemampuan untuk memberikan layanan pendidikan formal kepada peserta didik secara terus-menerus, dengan menerapkan pola manajemen yang mampu menjamin keberlanjutan layanan; dan
i. partisipasi atas tanggung jawab negara, yaitu keterlibatan pemangku kepentingan dalam penyelenggaraan pendidikan formal untuk mencerdaskan kehidupan bangsa yang merupakan tanggung jawab negara.
   
      Selanjutnya dalam penjelasan UU NO.9 Tahun 2009 disebutkan: UU Sisdiknas mengamanatkan perlunya pelaksanaan manajemen pendidikan berbasis sekolah/madrasah pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, serta otonomi perguruan tinggi pada jenjang pendidikan tinggi. Untuk mewujudkan amanat tersebut, Pasal 53 UU Sisdiknas mewajibkan penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan yang berfungsi memberikan pelayanan kepada peserta didik yang bersifat nirlaba dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan. Pengaturan badan hukum pendidikan merupakan implementasi tanggung jawab negara dan tidak dimaksudkan untuk mengurangi atau menghindar dari kewajiban konstitusional negara di bidang pendidikan sehingga memberatkan masyarakat dan/atau peserta didik.
      Walaupun demikian, masyarakat dapat berperan serta dalam penyelenggaraan, pengendalian mutu, dan penyiapan dana pendidikan. Penyelenggara pendidikan formal yang berbentuk yayasan, perkumpulan, atau badan hukum lain sejenis yang telah ada sebelum pemberlakuan Undang-Undang ini tetap diakui dan dilindungi untuk mengoptimalkan peran sertanya dalam pengembangan pendidikan nasional. Namun, tata kelola penyelenggaraan pendidikan itu selanjutnya harus mengikuti ketentuan dalam Undang-Undang ini. Sehubungan dengan itu, diperlukan pengaturan tentang badan hukum pendidikan dalam bentuk undang-undang, sesuai dengan amanat Pasal 53 ayat (4) UU Sisdiknas.
      Sekalipun mendapat penolakan dari berbagai kalangan, pemerintah tetap mengesahkan UU BHP ini dengan dalih telah diamanatkan dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas. Secara garis besar UU No. 9 Tahun 2009 Tentang Badan Hukum Pendidikan menyiratkan bahwa kemandirian dan otonomi penyelenggaraan pendidikan diberikan kepada masyarakat termasuk yayasan-yayasan pendidikan yang sudah ada sebelumnya. Sayangnya, lembaga-lembaga pendidikan yang dikelola yayasan termasuk yang berbasis keagamaan akan semakin sulit berkembang karena tidak memiliki modal yang cukup untuk mengelola satuan pendidikannya secara otonom. Yang pasti, banyak peserta didik dari kelas ekonomi menengah ke atas akan memilih sekolah atau perguruan tinggi negeri otonom yang memiliki sarana dan prasarana lengkap. Tetapi bagi lembaga-lembaga pendidikan yang belum siap bersaing, UU BHP dianggap sebagai "lonceng kematian" yang begitu menyeramkan.
      Benarlah pernyataan Weiss (Boyles, 2005:78) bahwa "komersialisasi dan korporatisasi di sekolah-sekolah umum bertentangan dengan cita-cita pendidikan dernokratis". Dalam catatan. pengalamannya, ditemukan bahwa komersialisasi pendidikan di Amerika Serikat telah berdampak luas terhadap aktivitas sekolah. Banyak perusahaan besar mendatangi sekolah-sekolah dan menawarkan barang dagangannya dengan imbalan dan hadiah baik melalui guru, siswa dan orang tua. Oleh karena itu, Weiss (2005:75) menyarankan agar setiap program bisnis atau hubungan dengan sebuah perusahaan, seharusnya:

  • memiliki nilai pendidikan nyata dan mendorong kecintaan terhadap pelajaran.
  • memperkuat basis kurikulum pembelajaran, dan bukan bisnis.
  • memajukan tujuan pendidikan, tidak selamanya bertujuan untuk hubungan masyarakat
  • biarkan partisipasi kelas yang memutuskan di tingkat sekolah.
  • bersifat terbuka bagi siswa dan orangtua untuk memilih berpartisipasi secara sukarela.

      Tidak seharusnya:

  • menawarkan tour (berwisata), hadiah atau uang sebagai imbalan bagi guru dalam menawarkan barang dagangan dalam kelasnya.
  • melakukan diskriminasi terhadap setiap kelompok siswa
  • menghambat atau mengganggu waktu belajar siswa.
  • menawarkan pembelian produk oleh siswa atau orang tua.
  • menjadi penting bagi guru, siswa dan orang tua untuk mempromosikan barang dagangan.

   
      Lebih lanjut Weiss (2005:80) menegaskan sekali lagi, ekonomi nasional dan anggaran negara untuk pendidikan telah mengalami penurunan yang tajam. Tekanan untuk mencari alternatif sumber pendanaan menjadi lebih intens. Guru menghabiskan lebih banyak waktu untuk mencari dan mengorganisir perusahaan-perusahaan dengan maksud mengumpulkan dana sumbangan untuk sekolah setempat. Ini berlangsung terus-menerus. Isu-isu seperti ini membutuhkan kerja sama guru dan organisasi perhimpunan guru, untuk dibahas secara tuntas. Kebijakan pendidikan dapat digali melalui berbagai pandangan mendasar, yang membatasi hak istimewa industri/perusahaan. Buktinya, hal itu masih menjadi sebuah tantangan. Derek Bok (Sein, 2004:32), dalam kajiannya mengenai dampak komersialisasi di perguruan tinggi di Amerika Serikat menyimpulkan empat hal, yaitu: I
      Pertama, perguruan tinggi perlu melihat proses komersialisasi secara keseluruhan, dengan segala manfaat dan risikonya, dan ber­ usaha untuk mengembangkan peraturan dan ketentuan secara jelas dan tegas dipublikasikan secara luas untuk diterapkan dengan baik. Tanpa panduan khusus yang mengikat seperti itu, maka akan memberikan peluang bagi keputusan setiap pejabat untuk menerima tawaran uang dengan mengorbankan prinsip-prinsip akademis, karena jika hal itu tidak dipatuhi, maka akan bertentangan dengan ketentuan yang telah ditetapkan.
      Kedua, perguruan tinggi tidak boleh bergantung hanya pada pimpinannya untuk memberlakukan dan menegakkan aturan-aturan yang telah ditetapkan. Pimpinan selalu berada di bawah tekanan untuk dengan kemampuan sendiri, mencari sumber pendapatan baru yang memenuhi kebutuhan para guru besar (professor) sebagai bagian dari tanggung jawabnya. Tanpa bantuan aktif dari wali dan fakultas, para pemimpin kampus tidak akan mampu bertahan secara konsisten pada apa yang digariskan dan tidak bertanggungjawab atas usaha komersial.
      Ketiga, pemimpin universitas juga harus mencari kesempatan untuk membuat kesepakatan dengan situasi yang sama untuk menciptakan lembaga dalam batas-batas keuntungan dari kegiatan yang dilakukan. Dengan tidak adanya kesepakatan tersebut, akan mengerahkan kekuatan persaingan dan melakukan tekanan pada setiap perguruan tinggi untuk mengikuti jejak mereka yang paling bertanggung jawab pada institusi lain.
      Keempat, stabilitas pendanaan pemerintah secara wajar dan stabil sangat penting untuk menghindari komersialisasi semestinya. Meskipun berniat baik, kelangsungan hidup biasanya akan lebih diutamakan daripada nilai-nilai lain Jika sumber dana tradisional berkurang, maka dipastikan universitas akan berusaha menggunakan pol a pengambilan sebagian keuntungannya untuk mempertahankan programnya sehingga tetap bersaing dengan lembaga-Iembaga yang setingkat. Untuk alasan ini, dana pemerintah merupakan pertahanan utama terhadap runtuhnya nilai-nilai fundamental akademis.
      Kritikan yang tajam juga dilontarkan Tilaar (2009:40); kita ketahui dari beberapa konsekuensi dari kebijakan tersebut antara lain naiknya SPP dan masuknya universitas-universitas dalam dunia bisnis. Hal ini berarti ilmu pengetahuan telah menjadi komoditi. Hal ini memang dapat saja dimaklumi, namun demikian pengaruh selanjutnya ialah akses untuk memperoleh ilmu dan pengetahuan tersebut terbatas kepada masyarakat yang mampu. Universitas-universitas BHMN tersebut secara tidak sadar menjadi universitas elit yang hanya dapat dimasuki oleh mahasiswa dari golongan atas saja.
      Selanjutnya menurut Tilaar (2009:45; munculnya BHP sebagai suatu badan hukum yang memaksakan uniformitas penyelenggaraan pendidikan yang menghilangkan peranan masyarakat berarti perampasan ruang privat yang merupakan tumbuhnya keberagaman dalam masyarakat demokrasi. Hal ini berarti BHP akan mematikan lahirnya masyarakat madani yaitu berkembangnya manusia-manusia yang .kreatif yang dapat memberikan berbagai alternatif dalam kehidupan demokrasi.
      Berbagai pendapat dan kritikan yang disampaikan para ahli di atas menggambarkan bahwa jika pendidikan dikomersialkan, maka pada hakikatnya akan berdampak buruk dalam aspek-aspek pemberdayaan manusia. Pendidikan adalah institusi yang mendorong perkembangan setiap individu untuk tumbuh dan berkembang sesuai potensi dalam dirinya. Pendidikan tidak bisa dijadikan sebagai wahana untuk menjajakan barang dagangan maupun memperdagangkan pengetahuan untuk kepentingan sesaat dengan alasan ekonomi. Tidak berarti peserta didik tidak diperbolehkan untuk belajar mandiri dan berusaha untuk mengembangkan potensinya agar menghasilkan keuntungan ekonomi, tetapi tidak pada tempatnya, jika pendidikan disamakan dengan lembaga/ perusahaan yang hanya berorientasi pada keuntungan semata. Oleh karena itu, beberapa pertimbangan yang mungkin dapat dipikirkan bersama berkaitan dengan komersialisasi dan privatisasi pendidikan, dapat dikemukakan sebagai berikut:
a) Komersialisasi pendidikan akan berdampak pada berkembangnya individu peserta didik yang hanya akan berorientasi pada kekayaan, kehormatan, kedudukan dan persaingan yang tidak sehat. Hal ini berimbas pada kecenderungan untuk bersikap tidak kooperatif, karena masing-masing memiliki posisi yang istimewa. Dalam kurun waktu yang panjang, jika mungkin akan lahir pejabat-pejabat bermental korup karena selalu berpatokan pada nilai keuntungan dengan mengorbankan orang lain.
b) Komersialisasi pendidikan menggambarkan keinginan pemerintah untuk melepaskan tanggungjawab penyelenggaraan pendidikan pada kelompok-kelompok kepentingan yang hanya mengejar keuntungan dan mengabaikan hak dan kewajiban setiap orang untuk mengakses pendidikan.
c) Prinsip komersialisasi memungkinkan kemandirian pengelolaan lembaga pendidikan yang menawarkan fasilitas, sistem penyelenggaraan, kurikulum dengan muatan berbeda dan nuansa akademis yang terkesan elit.
d) Komersialisasi pendidikan berujung pada tingkat persaingan tidak sehat antara peserta didik, tenaga pendidikan, penyelenggara pendidikan dan bahkan melibatkan orang tua dan masyarakat secara luas.
e) Komersialisasi pendidikan akan membatasi ruang gerak kelompok masyarakat yang kurang mampu, karena layanan pendidikan yang ditawarkan berpotensi mengeluarkan biaya yang sangat besar.
f) Prinsip komersialisasi akan menghasilkan pribadi-pribadi manusia Indonesia di masa datang yang berbeda dari postur pengetahuan, kepribadian, perilaku sosial dan standar moralnya. Sehingga dikhawatirkan akan terjadi pengelompokan-pengelompokan sosial yang meruncing keretakan dan perpecahan dalam masyarakat.
g) Dalam kurun waktu yang panjang prinsip-prinsip solidaritas yang menghargai perbedaan dan memahami perbedaan sebagai sesuatu perlu dihormati, akan semakin pudar. Penyebabnya adalah karena mulai bermunculan stratifikasi sosial yang mempertajam perbedaan dalam masyarakat.
h) Bagi daerah-daerah yang tidak bermodal, maka penyelenggaraan pendidikannya berjalan apa adanya, sehingga akan terjadi perbedaan mutu pendidikan yang tidak seimbang antar daerah, antar satuan dan jenjang pendidikan.
i) Jika komersialisasi dipandang sebagai alternatif terbaik untuk meningkatkan daya saing pendidikan nasional, maka aspek-aspek sosial, budaya, etnis, ras, dan lain sebagainya tidak menjadi kabur dalam pengelolaan setiap institusi pendidikan. Artinya, semua kelompok masyarakat berhak untuk mengakses pendidikan dan diperlakukan dengan adil dan seimbang.
      Memang dalam pembahasan sebelumnya tidak disinggung konsep privatisasi, karena sebetulnya hanya berorientasi pada aspek pengelolaan suatu asset secara perseorangan atau individu tertentu. Tetapi jika ditelaah secara mendalam, prinsip-prinsip komersialisasi yang dikembangkan dalam dunia pendidikan dewasa ini cenderung ke arah swastanisasi atau proses peralihan lembaga atau badan usaha milik negara kepada pihak swasta atau kelompok masyarakat yang memiliki modal besar.
      Komersialisasi dan privatisasi memiliki wajah kembar tetapi memiliki dimensi yang sama dalam memperlakukan usahanya. Karena aspek transaksi dagang dengan cara menawarkan produk yang unggul akan menjadi daya tarik bagi pelanggan baik internal maupun eksternal. Mudah-mudahan tidak berlaku proses transaksi antara tenaga pendidik dengan siswa dan orang tua dalam proses dan hasil pendidikan yang diharapkan masyarakat. Apapun langkah dan upaya pemerintah untuk memajukan pendidikan nasional patut didukung, tetapi bilamana nilai-nilai pendidikan yang dicita-citakan dalam Pancasila dan UUD 1945 mulai terabaikan, maka tugas dan tanggungjawab setiap warga negara adalah mengingatkan sekaligus menawarkan solusi, yang cepat dan tepat.
 

BAB IIIPENUTUP

I. KESIMPULAN

      Dari pembahasan standardisasi pendidikan nasional sebelumnya maka dapat diambil beberapa kesimpulan kesimpulan :
a. Standar nasional pendidikan adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia;
b. Manifestasi dari pemberlakuan UU No. 20 Tahun 2003 dan PP No. 19 Tahun 2005, maka operasionalisasi ketentuan mengenai komponen-komponen pendidikan yang memerlukan standardisasi ditetapkan dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional.
c. Komponen-komponen pendidikan yang memerlukan standardisasi adalah :
- Standar Isi
- Standar Proses
- Standar Kompetensi Kelulusan
- Standar Tenaga Kependidkan
- Standar Sarana dan Prasarana
- Standar Pengelolaan
- Standar Pembiayaan
- Standar Penilaiian

II. SARAN

      Demikianlah makalah ini kami buat, semoga dengan adanya makalah ini dapat memberi manfaat kepada pembaca dalam memahami standar pendidikan nasional yang ada di Indonesia. Jika pembahasan kami belum lengkap, kami mohon kritikan dan saran yang membangun dari pembaca untuk kesuksesan tugas-tugas kami selanjutnya. Wassalam...

DAFTAR PUSTAKA

      Amtu, Onisimus. 2011. Manajemen Pendidikan di Era Otonomi Daerah: Konsep, Strategi, Dan Implementasi. Alfabeta : Bandung.









Pembahasan tulisan ini sama dengan :

Standar Pendidikan Nasional, Standarisasi Pendidikan Nasional

Standar Nasional Pendidikan